Tuesday 29 October 2013

RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Negara Indonesia dalah negara hukum . Bukan negara kekuasaan. Otoritas bukanlah identitas Negara Indonesia . Negara hukum dan Rule of law pada hakikatnya sulit dipisahkan, bahkan  hampir dapat dikatakan sama .
          Sementara itu Rule of Law  sendiri mengandung makna hukum sebagai aturan atau acuan.  Keterkaitan antara negara hukum dan Rule of Law itu sendiri adalah persamaan yang terlihat dari maknanya,yaitu aturan . Aturan yang dibuat oleh suatu Negara merupakan upaya untuk memberikan pelayan bagi seluruh komponen uang ada agar tidak tercerai-berai atau memberikan batasan bagi setiap komponen tersebut untuk tidak menyalahi aturan yang telah dibuat agar terciptanya keseimbangan antar komponen itu sendiri .
Selain aturan-aturan tersebut setiap warga Negara memiliki hak yang dimiliki oleh seluruh warga dunia, Hak Asasi Manusia . HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
B.     MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun tujuan penulis adalah untuk memenuhi sebagian syarat dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila, selain itu juga ada beberapa tujuan diantaranya :
a.       Mengetahui lebih jauh Rule of Law dan Hak Asasi Manusia.
b.      Untuk menambah wawasan dan pengalaman pemakalah sebagai mahasiswi.
C.    METODE PENULISAN
Metode penulisan dalam makalah yang pemakalah buat ini adalah Objektif Praktis yaitu seluruh materi ini yang ditulis dalam makalah ini bersumber pada buku Prof.DR.Kaelan, M.S, H.Achmad Zubaidi,MSi.
D.    SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan yang pemakalah lakukan terdiri dari :
BAB I PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
B.        Maksud dan Tujuan
C.        Metode Penulisan
D.        Sistematika Penulisan
BAB II PERMASALAHAN
BAB III PEMBAHASAN
A.    Pengertian Rule of Law dan Negara Hukum
B.     Hak Asasi Manusia
C.     Penjabaran Hak-Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945
D.    Hak dan Kewajiban Warga Negara
BAB IV KESIMPULAN
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA


BAB II
PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang terdapat dalam makalah ini adalah :
a.       Apa pengertian dari Rule of Lawdan Negara Hukum? 
b.      Bagaimana ciri-ciri Rule of Lawdan Negara Hukum?
c.       Apa pengertian dari HAM dan macam-macamnya?
d.      Bagaimana penegakkan HAM di Indonesia?











BAB II
PEMBAHASAN
RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Pengertian Rule of Law dan Negara Hukum
Pengertian Rule of Law dan negara hukum pada hakikatnya sulit dipisahkan. Ada pakar mendeskripsikan bahwa pengertian negara hukum dan Rule of Law itu hampir dapat dikatakan sama, namun terdapat pula ada yang menjelaskan bahwa memiliki penekanan masing-masing. Menurut Philipus M. Hadjon misalnya bahwa negara hukum yang menurut istilah bahasa Belanda rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, yaitu dari kekuasaan raja yang sewenang-wenang untuk mewujudkan negara yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalam proses perkembangannya rechtsstaat itu lebih memiliki ciri yang revolusioner. Gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan raja maupun penyelenggara negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-undangan itulah yang sering diistilahkan dengan Rule of Law. Misalnya gerakan revolusi Perancis serta gerakan melawan absolutisme di Eropa lainnya, baik dalam melawan kekuasaan raja, bangsawan maupun golongan teologis.
Oleh karena itu menurut Friedman, antara pengertian negara hukum atau rechtsstaat dan Rule of Law sebenarnya saling mengisi (Friedman, 1960: 546). Berdasarkan bentuknya sebenarnya Rule of Law adalah kekuasaan publik yang diatur secara legal. Setiap organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk negara mendasarkan pada Rule of Law. [1]Dalam hubungan ini Pengertian Rule of Law berdasarkan substansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara. Konsekuensinya setiap negara akan mengatakan mendasarkan pada Rule of Law dalam kehidupan kenegaraannya, meskipun negara tersebut adalah negara otoriter. Atas dasar alasan ini maka diakui bahwa sulit menentukan pengertian Rule of Law secara universal, karena setiap masyarakat melahirkan pengertian itupun secara berbeda pula (lihat Soegito, 2006: 4), dalam hubungan inilah maka Rule of Law dalam hal munculnya bersifat endogen, artinya muncul dan berkembang dan suatu masyarakat tertentu.
Munculnya keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis tenhadap kekuasaan, pada dasarnya disebabkan potitik kekuasaan cenderung korup. Hal mi dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi dan peran negara bagi kehidupan individu dan masyarakat. Atas dasar pengertian tersebut maka terdapat keinginan yang sangat besar untuk melakukan pembatasan terhadap kekuasaan secara normatif yuridis untuk menghindari kekuasaan yang dispotik (Hitchner, 1981: 69). Dalam hubungan inilah maka kedudukan konstitusi menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi dalam hubungan ini dijadikan sebagai perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun sesuai dengan prinsip government by law, not by man (pemerintahan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan manusia atau penguasa).
Carl J. Friedrich dalam bukunya Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, memperkenalkan istilah negara hukum dengan istilah rehtsstaat atau constitutional state. Demikian juga tokoh lain yang membahas rechtsstaat adalah Friederich J. Stahl, yang menurutnya terdapat empat unsur pokok untuk berdirinya satu rechsstaat, yaitu: (1) hak-hak manusia; (2) pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; (3) pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; dan (4) peradilan administrasi datam perselisihan (Muhtaj, 2005: 23).[2]
Bagi negara Indonesia ditentukan secara yuridis formal bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Hal itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yang secara eksplisit dijelaskan bahwa “....maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia....”. Hal ini mengandung arti bahwa suatu keharusan Negara Indonesia yang didirikan itu berdasarkan atas Undang-Undang Dasar Negara.
Dengan pengertian lain dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum atau rechtstaat dan bukan negara kekuasaan atau machtsstaat. Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum. serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak penguasa. Dalam paham negara hukum itu, hukumlah yang menjadi komando tertingi dalam penyelenggaraan negara. Dalam penyelenggaraan negara yang sesungguhnya memimpin adalah hukum itu sendiri. Oleh karena itu berdasarkan pengertian ini Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not of Man”, yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos.
Dalam negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada hakikatnya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh karena itu prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat atau democratische rechstssaat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstaat. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar atau constitutional democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat) Asshid diqie, 2005: 69-70).[3]
Prinsip-prinsip Rule of Law
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa pengertian Rule of Law tidak dapat dipisahkan dengan pengertian negara hukum atau rechtsstaat. Meskipun demikian dalam negara yang menganut sistem Rule of Law harus memiliki prinip-prinsip yang jelas, terutama dalam hubungannya dengan realisasi Rule of Law itu sendiri. Menurut Albert Venn Dicey dalam ‘Introduction to the Law of The Constitution, memperkenalkan istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey terdapat tiga unsur yang fundamental dalam Rule of Law, yaitu: (I) supremasi aturan-aturan hukum. tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang melanggar hukum; (2) kedudukan yang sama di muka hukum. Hal ini berlaku baik bagi masyarakat biasa maupun pejabat negara; dan (3) terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa jikalau dalam hubungan dengan negara hanya berdasarkan prinsip tersebut, maka negara terbatas dalam pengertian negara hukum formal, yaitu negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap negara yang demikian ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang termasuk dalam konstitusi semata. Dengan perkataan lain negara tidak hanya sebagai ‘penjaga malam’ (nachtwachterstaat), Dalam pengertian seperti ini seakan-akan negara tidak berurusan dengan kesejahteraan rakyat. Setelah pertengahan abad ke-20 mulai bergeser, bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu negara tidak hanya sebagai ‘penjaga malam’ saja, melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan sosial-ekonomi.
Gagasan baru inilah yang kemudian dikenal dengan welvaartstaat, verzorgingss:aat, welfare state, social service state, atau ‘negara hukum materal. Perkembangan baru inilah yang kemudian menjadi raison d’etre untuk melakukan revisi atau bahkan melengkapi pemikiran Dicey tentang negara hukum formal.[4]
Dalam hubungan negara hukum ini organisasi pakar hukum intenasional, International, Comission of Jurists (ICJ), secara internasional melakukan kajian terhadap konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di dalamnya. Dalam beberapa kali pertemuan ICJ di berbagai Negara seperti di Athena (1955), di New Delhi (1956), di Amerika S (1957), di Rio de Janeiro (1962), dan Bangkok (1965), dihasilkan paradigma baru tentang negara hukum. Dalam hubungan ini kelihatan ada semangat bersama bahwa konsep negara hukum adalah sangat penting, yang menurut Wade disebut sebagai the rule of law is a phenomenon of a free society and the mark of it. ICJ dalam kapasitasnya sebagai forum intelektual, juga menyadari bahwa yang terlebih penting lagi adalah bagaimana konsep ride of law dapat diimplementasikan sesuai dengan perkembangan kehidupan dalam masyarakat.
Secara praktis, pertemuan JCJ di Bangkok tahun 1965 semakin menguatkan posisi rule of law dalam kehidupan bernegara. Selain itu, melalui pertemuan tersebut telah digariskan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi, sehingga perlu dibentuk standar-standar sosial-ekonomi. Komisi ini merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law yang dinamis, yaitu: (1) perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi harus pula menentukan teknis-prosedural untuk meperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; (2) lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak; (3) pemilihan umurn yang bebas; (4) kebebasan menyatakan pendapat; ( kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan (6) pedidikan kewarganegaraan (Azhary, 1995: 59).
Gambaran ini mengukuhkan negara hukum sebagai welfare state, karena sebenarnya mustahil mewujudkan cita-cita rule of law sementara posisi dan peran negara sangat minimal dan lemah. Atas dasar inilah kemudian negara diberikan keluasan dan kemerdekaan bertindak atas dasar inisyatif parlernen. Negara dalam hal ini pemerintah memiliki freiesermessen atau pouvoir discretionnare, yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial-ekonomi dan keleluasaan untuk tidak terlalu terikat pada produk legislasi parlemen. Dalam gagasan welfare state ternyata negara memiliki kewenangan yang relatif lebih besar, ketimbang format negara yang hanya bersifat negara hukum formal saja. Selain itu dalam welfare state yang terpenting adalah negara semakin otonom untuk mengatur dan mengarahkan fungsi dan peran negara bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Sejalan dengan kemunculan ide demokrasi konstitusional yang tak terpisahkan dengan konsep negara hukum, baik rechtsstaat maupun rule of law, pada prinsipnya memiliki kesamaan yang fundamental serta saling mengisi. Dalam prinsip negara ini unsur penting pengakuan adanya pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pemikiran dan praktek konsep negara hukum yang berbeda., konsep negara hukum dan rule of law adalah suatu relitas dan cita-cita sebuah negara bangsa, termasuk negara Indonesia.[5]
B. Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia sebagai gagasan, paradigma serta kerangka konseptual tidak lahir secara tiba-tiba sebagaimana kita lihat dalam ‘Universal Declaration of Human Right’ 10 Desember 1948, namun melalui suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah peradaban manusia. Dan perspektif sejarah dekiarasi yang ditandatangani oleh Majelis Umum PBB dihayati sebagai suatu pengakuan yuridis formal dan merupakan titik kulminasi perjuangan sebagian besar umat manusia di belahan dunia khususnya yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Upaya konseptualisasi hak-hak asasi manusia, baik di Barat maupun di Timur meskipun upaya tersebut masih bersifat lokal, parsial dan sporadikal.
Pada zaman Yunani Kuno Plato telah memaklumkan kepada warga polisnya, bahwa kesejahteraan bersama akan tercapai manakala setiap warganya melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam akar kebudayaan Indonesiapun pengakuan serta penghormatan tentang hak asasi manusia telah mulai berkembang, misalnya dalam masyarakat Jawa telah dikenal tradisi ‘Hak Pepe’, yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh penguasa, seperti mengemukakan pendapat, walaupun hak tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa (Baut & Beny, 1988: 3).[6]
Awal perkembangan hak asasi manusia dimulai tatkala ditanda tangani Magna Charta (1215), oleh Raja John Lackland. Kemudian juga penandatanganan Petition of Right pada tahun 1628 oleh Raja Charles I. Dalam hubungan ini Raja berhadapan dengan Utusan rakyat (House of Commons). Dalam hubungan inilah maka perkembangan hak asasi manusia itu saagat erat hubungannya dengan perkembangan demokrasi. Setelah itu perjuangan yang Iebih nyata pada penandatanganan Bill of Right, oeh Raja Willem 111 pada tahun 1689, sebagai hasil dan pergolakan politik yang dahsyat yang disebut sebagai the Glorious Revolution. Peristiwa ini tidak saja sebagai suatu kemenangan parlemen atas raja, melainkan juga merupakan kemenangan rakyat dalam pergolakan yang menyertai pergolakan Bill of Rights yang berlangsung selama 60 tahun (Asshiddiqie, 2006: 86). Perkembangan selanjutnya perjuangan hak asasi manusia dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Inggris John Locke yang berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Hak-hak yang di serahkan kepada penguasa adalah hak yang berkaitan dengan perjanjian tentang negara, adapun hak-hak lainnya tetap berada pada masing individu.
Puncak perkembangan perjuangan hak-hak asasi manusia tersebut yaitu ketika ‘Human Right itu untuk pertama kalinya dirumuskan secara resmi dalam ‘Declaration of Independence’ Amerika Serikat pada tahun 1776. Dalam dek1arasi Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776 tersebut dinyatakan bahwa seluruh umat manusia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa beberapa hak yang tetap dan melekat padanya. Perumusan hak-hak asasi manusia secara resmi kemudian menjadi dasar pokok konstitusi Negara Amerika Serikat tahun 1787, yang mulai berlaku 4 Maret I789.(Hardjowirogo, 1977: 43).
Perjuangan hak asasi manusia tersebut sebenarnya telah diawali di Perancis sejak Rousseau, dan perjuangan itu memuncak dalam revolusi Perancis, yang berhasil menetapkan hak-hak asasi manusia dalam ‘Declaration des Droizs L ‘Homme et du Citoyen’ yang ditetap kan oleh Assemblee Nationale pada 26 Agustus 1789 (Asshiddiqie 2006: 90). Semboyan revolusi Perancis yang terkenal yaitu (1) Liberte (kemerdekaan), (2) egalite (Kesamarataan) (3) fraternite (kerukunan atau persaudaraan). Maka rnenurut konstitusi Perancis yang di maksud dengan hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat di pisahkan dengan hakikatnya.[7]
Dalam rangka konseptualisasi dan reinterpretasi terhadap hak-hak asasi yang mencakup bidang-bidang yang lebih luas itu, Franklin D. Rooseveft, Presiden Amerika pada permulaan.abad ke-20 memformulasikan empat macam hak-hak asasi yang kemudian dikenal dengan “The Four Freedom” itu adalah: (1) Freedom of speech. yaitu kebebasan untuk berbicara dan mengemukakari pendapat. (2) Freedom of Religion. yaitu kebebasan beragama. (3) Freedom from Fear. yaitu kebebasan dan rasa ketakutan. dan (4) Freedom from Want, yaitu ke bebasan dan kemelaratan (Budiardjo. 1981: 121). Hal inilah yang ke mudian menjadi inspirasi dan Declaration of Human Right 1948 Perserikatan Bangsa-bangsa.
Doktrin tentang hak-hak asasi manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai moral, political, legal framework and as a guideline ‘ dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan senta perlakukan yang tidak adil. Terhadap deklarasi sedunia tentang hak-hak asasi manusia PBB tersebut. bangsa-bangsa sedunia melalui wakil-wakilnya memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal walaupun realisasinya juga disesuaikan dengan kondisi serta peraturan perundangan yang berlaku dalam setiap negara di dunia ini.
Namun demikian dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human Rights ini. ternyata tidak cukup mampu untuk mecabut akar-akar penindasan di berbagai negara. Oleh karena itu PBB secara terus-menerus berupaya untuk memperj uangkannya. Akhirnya setelah kurang lebih 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga melahiran Convenantion Economic, Social and Cultral (Perjanjian tentang ekonomi, sosia dan budaya) dan Convenantion Civil and Political Rights (Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik) (Asshiddiqie, 2006: 92).[8]
C. Penjabaran Hak-Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945
Hak asasi manusia sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pandangan filosofis tentang hakikat manusia yang melatarbelakangi. Menurut pandangan filsafat bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila hakikat adalah “monopluralis”susunan kodrat manusia adalah jasmani rohani,atau raga dan jiwa,sifat kodrat manusia adalah makhluk individu dan makhluk social,serta kedudukan kodrat manusia adalah sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makluk tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini juga telah ditekankan oleh The Founding Father bangsa Indonesia,misalnya pernyataan Moh.Hatta dalam siding BPUPKI sebagai berikut: “walaupun yang dibentuk itu Negara kekeluargaan,tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga Negara,agar jangan sampai timbul Negara kekuasaan atau Machtstaat Negara  penindas”.
Deklarasi bangsa Indonesia pada prinsipnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945,dan pembukaan inilah yang merupakan sumber normative bagi hukum positif Indonesia terutama penjabarannya dalam pasal-pasal UUD 1945.[9]
Pernyataan tentang “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” mengandung arti bahwa dalam deklarasi bangsa Indonesia terkandung pengakuan bahwa manusia adalah sebagai makhlik tuhan Yang Maha Esa.Dan diteruskan dengan kata-kata”..supaya berkehidupan Kebangsaan yang bebas...”berdasarkan pengertian ini maka bangsa Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia untuk memeluk agama  sesuai dengan deklarasi hak-hak asasi manusia PBB pasal 18,adanya dalam pasal UUD 1945 tercantum dalam 29 terutama ayat (2) UUD 1945.
Tujuan Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang bersifat formal tersebut mgandung konsekuensi bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warganya dengan suatu Undang-undang terutama melindungi hak-hak asasinya Indonesia memiliki cirri tujuan Negara hukum material,dalam rumusan tujuan Negara”…memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa…”
Berdasarkan pada tujuan Negara sebagaimana terkandung dalam  pembukaan UUD 1945 tersebut,maka Negara Indonesia menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia para warganya,terutama dalam dan melindungi hak-hak manusia para warganya,terutama dalam kaitannya dengan kesejahteraan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah,antara lain berkaitan dengan hak- hak asasi bidang social,politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan agama.Adapun rincian hak- hak asasi manusia dalam pasal – pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut. Tercantum dalam BAB XA ( HAK ASASI MANUSIA) yang termuat beberapa pasal antara lain: Pasal 28 A, Pasal 28 B, Pasal 28 C, Pasal 28 D, Pasal 28 E, Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 H, Pasal 28 I, Pasal 28 J. [10]
Dalam perjalanan sejarah kenegaraan Indonesia pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia di Indonesia mengalami kemajuan. Antara lain sejak kekuasaan Rezim Soeharto telah dibentuk KOMNAS HAM, walaupun pelaksanaannya belum optimal.
Dalam proses reformasi dewasa mi terutama akan perlindungan hak-hak asasi manusia semakin kuat bahkan merupakan tema sentral. Oleh karena itu jaminan hak-hak asasi manusia sebagaimana terkandung dalam UUD 1945, mejadi semakin efektif terutama dengan diwujudkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia dalam konsiderans dan ketentuan Umum pasal I dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan miausia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugrahNya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan. Serta perlindungan harkat dan martabat manusisa. Selain hak asasi juga dalam UU No.39 tahun 1999, terkandung kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak mungkin terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
UU No.39 tahun 1999 tersebut terdiri atas 105 pasal yang meliputi berbagai macam hukum tentang hak asasi, perlindungan hak asasi, pembatasan terhadap kewenangan penerintah serta KOMNAS HAM yang merupakan lembaga pelaksanaan atas perlindungan hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi tersebut meliputi, hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Demi tegaknya hak asasi setiap orang maka diatur pula kewajiban dasar manusia, antara lain kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, dan konsekuensinya setiap orang harus tunduk kepada peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Selain itu juga diatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan serta memajukan hak-hak asasi manusia tersebut yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Dengan diundangkannya UU.No.39 tahun 1999 tentang hak-hak asasi manusia tersebut bangsa Indonesia telah masuk pada era baru terutama dalam menegakkan masyarakat yang demokratis yang melindungi hak-hak asasi manusia.[11] Namun demikian sering dalam pelaksanaannya mengalami kendala yaitu dilema antara menegakkan hukum dengan. kebebasan sehingga kalau tidak konsisten maka akan merugikan bangsa Indonesia sendiri.
Dalam Undang-Undang dasar 1945 hasil amandemen 2002, telah memberikan jaminan secara eksplisit tentang hak-hak asasi manusia, pasal 28A sampai dengan pasal 2 Jikalau dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebelurn dilakukan. amandemen, ketentuan yang menggatur tentang jaminan hak-hak asasi manusia dalarn Undang-Undang Dasar 1945 hasil aman demen 2002 dikembangkan menjadi tambah pasalnya dan lebih rinci. Rincian tersebut antara lain misalnya tentang hak-hak sosial dijamin dalam pasal 28B ayat (1), (2), pasal 28C ayat (2),pasal 28H ayat (30), hak ekonomi diatur dalam pasal 28D, ayat (2), hak politik diatur dalam pasal 28D ayat (3), pasal 28E ayat (3), hak budaya pada pasal 28I ayat (3), hak perlindungan hukum yang sama pada pasal 28G ayat (1), hak memeluk, memiliki, menyimpan, mengolah, menyampaikan in formasi dan komunikasi melalui berbagai saluran yang ada.
Konsekuensinya pengaturan atas jaminan hak-hak asasi manusia tersebut harus diikuti dengan pelaksanaan, serta jaminan hukum yang memadai. Untuk ketentuan yang lebih rinci atas pelaksanaan dan penegakan hak-hak asasi tersebut, diatur dalam Undang-Undarig No.9 tahun 1999. satu kasus yang cukup penting bagi Bangsa Indonesia dalam menegakkan hak-hak asasi, adalah dengan dilaksanakannya Pengadilan Ad Hoc, atas pelanggar hak-hak asasi manusia di Jakarta, atas pelanggaran di Timur-timur. Hal ini menunjukkan kepada masyarakat internasional, bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen atas penegakan hak-hak asasi manusia. Memang pelaksanaan pengadilan Ad Hoc atas pelanggaran hak-hak asasi manusia di Timur-Timur tersebut penuh dengan kepentingan-kepentingan politik. Diatur pihak pelaksana pengadilan Ad Hoc tersebut atas desakan PBB, yang taruhannya adalah nasib dan kredibilitas bangsa Indonesia di mata Internasional, dipihak lain perbenturan kepentingan antara penegakan hak-hak asasi dengan kepentingan nasional serta rasa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia. Dalam kenyataannya mereka-mereka yang dituduh melanggar HAM berat di Timur-Timur pada hakikatnya bejuang demi kepentingan bangsa dan negara.[12]
Terlepas dari berbagai macam kelebihan dan kekurangannya, bagi kita merupakan suatu kemajuan yang sangat berarti, karena bangsa Indonesia memiliki komitmen yang tiaggi atas jaminan serta penegakan hak-hak asasi manusia, dalam kebidupan kenegaraan.
Ketentuan pasal- pasal tentang Hak Asasi Manusia dalam  Deklarasi Universal tentang Hak-hak asasi manusia PBB adalah sebagai berikut: Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 Pasal 10, dan Pasal 11 (1) (2), Pasal 12, Pasal 13(1-2), Pasal 14 (1-2), Pasal 15(1-2), sampai dengan 30.[13]
D. Hak dan Kewajiban Warga Negara
1. Pengertian Warga negara dan Penduduk
Syarat-syarat utama berdirinya suatu negara merdeka adalah harus ada wilayah tertentu, ada rakyat yang tetap dan ada pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Tidak mungkin suatu negara berdiri tanpa wilayah dan rakyat yang tetap, namun bila negara itu tidak memiliki pemerintahan yang berdaulat secara nasional, maka negara itu belum dapat disebut sebagai negara merdeka.
Warganegara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya dengan negara. Dalam hubungan antara warganegara dan negara, warganegara mempunyai kewajiban kewajiban terhadap negara dan sebaliknya warganegara juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara.
Dalam hubungan internasional di setiap wilayah negara selalu ada warga negara dan orang asing yang semuanya disebut penduduk. Setiap warganegara adalah penduduk suatu negara, sedangkan setiap penduduk belum tentu warganegara, karena mungkin orang asing.
Penduduk suatu negara mencakup warganegara dan orang asing, yang memiliki hubungan berbeda dengan negara. Setiap warganegara mempunyai hubungan yang tak terputus meskipun dia bertempat tinggal di luar negeri. Sedangkan seorang asing hanya mempunyai hubungan selama dia bertempat tinggal di wilayah negara tersebut.
Menurut UUD 1945, negara melindungi segenap penduduk misalnya dalam pasal 29 (2) disebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Di bagian lain UUD 1945 menyebutkan hak-hak khusus untuk warganegara, misasnya dalam pasal 27 (2) yang menyebutkan “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan dalam pasal 31 (1) yang menyebutkan “Tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran”.[14]
2. Asas-asas Kewarganegaraan
a. Asas ius-sanguinis dan asas ius-soli
negara yang berdaulat berhak untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk menjadi warganegara dengan syarat menjadi warganegara dalam ilmu tata negara dikenal adanya dua asas Kewarganegaraan, yaitu asas ius-sanguinis dan asas ius-soli. Asas ius-soli adalah asas daerah kelahiran, artinya bahwa status Kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya di negara A tersebut. Sedangkan asas ius-sanguinis adalah asas keturunan atau hubungan darah, artinya bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh orangtuannya. Seseorang adalah warga negara B karena orangtuanya adalah warganegara B.
b. Bipatride dan apatride
Dalam hubungan antar negara seseorang dapat pindah tempat dan berdomisili di negara lain. Apabila seseorang atau keluarga yang bertempat tinggal di negeri lain melahirkan anak, maka status Kewarganegaraan anak ini tergantung pada asas yang berlaku di negara tempat kelahirannya dan yang berlaku di negara orangtuanya. Perbedaan asas yang dianut oleh negara yang lain, misalnya negara A menganut asas ius-sanguinis sedangkan negara B menganut asas ius-soli, hal ini dapat menibulkan status biptride alau apatride pada anak dan orangtua yang berimigrasi di antara kedua negara tersebut.
Bipatride (dwi Kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan dan dua negara terkait seseorang dianggap sebagai warganegara kedua negara itu. Misalnya, Adi dan Ani adalah suami istri yang berstatus warga negara A namun mereka berdomisili di negara B. negara A menganut asas ius-sanguinis dan negara B men ganut asas ius-soli. Kemudian lahirlah anak mereka, Dani. Menurut negara A yang menganut asas ius-sanguinis, Dani adalah warga negaranya karena mengikuti Kewarganegaraan orang tuanya. Menurut negara B yang menganut ius-soli, Dani juga warga negaranya, karena tempat kelahirannya adalah di negara B. Dengan demikian Dani mempunyai status dua Kewarganegaraan atau bipatride.
Sedangkan apatride (tanpa Kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan Kewarganegaraan, seseorang tidak diakui sebagai warganegara dan negara manapun. [15]Misalnya, Agus dan Ira adalah suami istri yang berstatus warganegara B yang berasas ius-soli Mereka berdomisili di negara A yang berasas ius-sanguinis. Kemudjan lahirlah anak mereka, Budi, menurut negara A, Budi tidak diakui sebagai warganegaranya, karena orangtuanya bukan warganegaranya. Begitu pula menurut negara B, Budi tidak diakui sebagai warganegaranya, karena lahir di wilayah negara lain. Dengan demikian Budi tidak mempunyai Kewarganegaraan atau apatride.
3. Hak dan Kewajiban Warganegara menurut UUD 1945
Pasal-pasal UUD 1945 yang meenetapkan hak dan kewajiban warganegara mencakup pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33 dan 34.
a.       Pasal 27 ayat (1) menetapkan hak warganegara yang sama dalam, hukum dan pemerintahan, serta kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan.
b.       Pasal 27 ayat (2) menetapkan hak warganegara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
c.       Pasal 27 ayat (3) dalam perubahan kedua UUD 1945 menetapkan hak dan kewajiban warganegara untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
d.      Pasal 28 menetapkan hak kemerdekaan warganegara untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
e.       Pasal 29 ayat (2) menyebutkan adanya hak kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya.
f.        Pasal 30 ayat (1) dalam perubahan kedua UUD 1945 menyebutkan hak dan kewajiban warganegara untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
g.       Pasal 31 ayat (1) meriyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.[16]


4. Hak Dan Kewajiban Bela Negara
a. pengertian
Pembelaan negara atau bela negara adalah tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh terpadu dan berlanjut yarg dilandasi oleh kecintaan pada tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. Bagi warganegara Indonesia, usaha pembelaan negara dilandasi oleh kecintaan pada tanah air (wilayah Nusantara) dan kesadaran berbangsa dan bernegara indonesia dengan keyakiran pada Pancasila sebagai dasar negara serta berpijak pada UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
Wujud dan usaha bela negara adalah kesiapan dan keretaan Setiap warganegara untuk berkorban demi mempertahankan kemerdekaan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, keutuhan wilayah Nusantara dan yuridiksi nasional, Serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
b. Asas Demokrasi dalam Pembelaan Negara
Berdasarkan pasal 27 ayat (3) dalam Perubahan Kedua UUD 1945, bahwa usaha bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap warganegara. Hal ini menunjukkan adanya asas demokrasi dalam pembelaan negara yang mencakup dua arti. Pertama, bahwa setiap warganegara turut serta dalam menentukan kebijakan tentang pernbelaan negara melalui lembaga-lembaga perwakilan sesuai dengan UUD 1945 dan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, bahwa setiap warganegara harus turut serta dalam setiap usaha pembelaan negara, sesuai dengan kemampuan dan profesinya masing-masing.


c. Motivasi dalam Pembelaan Negara
Usaha pembelaan negara bertumpu pada kesadaran setiap warganegara akan hak dan kewajibannya. Kesadarannya demikian perlu d itumbuhkan melalui proses motivasi untuk mencintai tanah air dan untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Proses motivasi untuk pernbelaan negara dan bangsa akan berhasil jika setiap warga memahami keunggulan dan kelebihan negara dan bangsanya.[17] Disamping itu setiap warganegara hendaknya juga memahami kemunkinan segala macam ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia Dalam hal ini ada beberapa dasar pemikiran yang dapat dijadikan sebagai bahan motivasi setiap warga negara untuk ikut serta membela negara Indonesia.
1)      Pengalaman sejarah perjuangan RI.
2)      Kedudukan wilayah geografis Nusantara yang strategis.
3)      Keadaan penduduk (demografis) yang besar.
4)      Kekayaan sumber daya alam.
5)      Perkembagan dan kemajuan IPTEK di bidang persenjataan.
6)      Kemungkinan timbulnya bencana perang.[18]





BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Rule of law merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom. Inti Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan sosial.
Rule of Law sangat diperlukan untuk negara seperti Indonesia karena akan mewujudkan keadilan. Tetapi harus mengacu pada orang yang ada di dalamnya yaitu orang-orang yang jujur tidak memihak dan hanya memikirkan keadilan tidak terkotori hal yang buruk.
Ada tidaknya Rule of Law pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”, apakah rakyat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan adil, baik sesama warga Negara maupun pemerintah.
       Friedman (1959) membedakan Rule of Law menjadi dua yaitu:
Pertama, pengertian secara formal (in the formal sence) diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), misalnya nrgara. Kedua, secara hakiki/materiil (ideological sense), lebih menekankan pada cara penegakannya karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law).
Prinsip-prinsip Rule of  Law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945.
        Penjabaran prinsip-prinsip Rule of Law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD 1945. Agar kita dapat menikmati keadilan maka seluruh aspek Negara harus bersih, jujur, mentaati undang-undang, juga bertanggung jawab, dan menjalankan UU 1945 dengan baik. Negara hukum adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum yang telah muncul sejak abad 19 di Eropa, negara hukum terjemahan dari Rule of Law.


B.       Saran
Sebagai warga negara kita haruslah menjunjung tinggi hukum dan kaidah-kaidahnya agar terselenggara keamanan, ketentraman, dan kenyamanan. Pelajari Undang-Undang 1945 beserta nilai-nilainya dan jalankan apa yang jadi tuntutanya agar tercipta kehidupan yang stabil. Dalam suatu penegakan hukum disuatu Negara maka seluruh aspek kehidupan harus dapat merasakannya dan diharapkan semua aspek tersebut mentaati hukum, maka akan terjadilah pemerintahan dan kehidupan Negara yang harmonis, selaras dengan keadaan dan sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu kemakmuran Bangsa.




















DAFTAR PUSTAKA

H.Kaelan,M.S. & H.Achmad Zubaidi,MS.i, Pendidikan Kewarganegaraan, ( Yogyakarta : Paradigma, 2010)



[1] H.Kaelan,M.S. & H.Achmad Zubaidi,MS.i, Pendidikan Kewarganegaraan, ( Yogyakarta : Paradigma, 2010),h. 94
[2] Ibid.,h.95
[3]Ibid.,h.96
[4] Ibid.,h.97
[5] Ibid.,h.98
[6] Ibid.,h.99
[7] Ibid.,h.100-101
[8] Ibid.,h.101
[9] Ibid.,h.102
[10] Ibid.,h.103-106
[11] Ibid.,h.107
[12] Ibid.,h.108
[13] Ibid.,h.109-116
[14] Ibid.,h.117
[15] Ibid.,h.118
[16] Ibid.,h.119
[17] Ibid.,h.120
[18] Ibid.,h.121