BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah Sebuah ciptaan yang paling sempurna dibanding
ciptaan yang lain, manusia yang dibekali dengan akal dan hati sebagai pembeda
antara yang haq dan yang batil. sungguh sangat unik ketika kita mengkaji
manusia karena penuh misteri khususnya dalam hal pencapaian diri atau
pencapaian sebagai insane kamil, meskipun hal itu sulit untuk diraih tapi kita
pun tidak semudah untuk menyerah, dengan dibekali kelebihan yang ada pada diri
manusia maka tidak menutup kemungkinan untuk bisa mencapainya. mengutip
pernyataan Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah pengantar (Murtadha Muthahhari, 1994)
mengatakan bahwa manusia merupakan miniatur dari alam raya. Jika pada alam raya
terdapat tiga tingkat alam yaitu : rohani, khayali, dan jasmani, maka pada
manusia ketiga alam tersebut juga terwujud yaitu dalam bentuk ruh, nafs(diri),
dan jism (tubuh).
Perlu kita ketahui Insan(manusia) adalah makhluk Allah yang
diciptakan dengan sebaik-baiknya penciptaan. meskipun dalam prakteknya manusia
tidak bisa sempurna tapi kitapun tetap berusah untuk menjadi pribadi-pribadi
yang selalu berusaha dan berbuat yang terbaik bagi yang lainya.
BAB II
PEMBAHASAN
INSAN KAMIL
A.
SEJARAH
SINGKAT KONSEP INSAN KAMIL
Insan kamil artinya manusia yang sempurna. Adapun
yang dimaksudkan dengan manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya.
Seseorang dianggap sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi criteria-kriteria
tertentu. Umat islam sepakat bahwa diantara manusia Nabi Muhammad Saw.adalah
manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Selama
hayatnya, segenap perikehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat,
karena segala sifat terpuji terhimpun dalam dirinya, bahkan beliau merupakan
lautan budi yang tidak pernah kering airnya.[1]
Istilah
insan kamil berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata; al-insan yang berarti manusia, dan al-kamil berarti sempurna. Istilah
insane kamil (al-insan al-kamil) ini
oleh R.A Nocholson diterjemahkan kedalam bahasa
inggris dengan the Perfect man.
Ini diantaranya terlihat dari judul bukunya The
Doctrin of the Perfect man (Ajaran tentang Manusia Sempurna) dan dalam
bukunya yang berjudul Studies in Islamic Mystiscm, dengan
membuat satu bab tentang the perfect man
(manusia sempurna). Terjemahan seperti itu juga dapat dilihat dari tulisan
Muhammad Iqbal, dalam bukunya The
Development of Metapyhsics in Persia. Sementara itu, Titus Burckhardt
menerjemahkannya kedalam bahasa Perancis dengan de L’homme Universal. Istilah
ini ia gunakan untuk menerjemahakan karya al-Jilli, al-insan al-kamil.[2]
Kemudian dari bahasa Perancis tersebut disalin oleh Angela Culme-Seymour ke
dalam bahasa Inggris dengan universal man.
Berkaitan
dengan asal-usul munculnya konsep insan kamil, terdapat perbedaan pandangan
antara para peneliti terutama dalam hal ini tentu peneliti Barat. H. H.
schaeder dan L. Massignon memandang bahwa insane kamil pada mulanya bukan
berasal dari islam. Menurutnya kedua peneliti asal barat ini, konsep insan
kamil pada mulanya berasal dan berakar dari agama Parsi Kuno. Nama Gayomart (Arab : Kiyumarts), dalam agama
parsi kuno merupakan “manusia pertama” atau “manusia yang qadim” merupakan
manusia yang memiliki daya-daya Ilahi dan memainkan peranan penting dalam
peristiwa penciptaan alam ini.[3]
Seiring
dengan hal itu, Seyyed Mehsen Miri salah seorang tokoh yang membahas insan
kamil dalam perspektif Islam dan Hindu dalam Kristen menurut perjanjian Baru
Adam dan Yesus dianggap sebagai anak Allah. Apapun maksudnya, yang jelas ada
kesamaan antara Tuhan dan keduanya (Adam dan Yesus). Pada satu sisi ia
mensucikan dosa yang dialkukan oleh Adam sehingga ia rela untuk disalib, makanya
ia disebut sebagai manusia pembebas. Dalam Perjanjian Baru, sifat ketuhanan
Yesus yang disebut dengan logos, ada sebelum adanya alam ini, meskipun secara
fisik keberadaannya dating jauh setelah adam. Seluruh makhluk yang ada di alam ini diciptakan untuk dia dan dalam dirinya.
Sedangkan
Yusuf Zaidan memandang konsep Insan Kamil ini secara murni dari Islam. Ia
membantah pendapat tokoh barat tersebut dengan mengemukakan beberapa alasan.
Senada dengan pendapat Yusuf Zaidan, R.A. Nicholson juga berpendapat bahwa Ibn
‘Arabi-lah yang pertama sekali menggunakan ungkapan insane kamil sebagai sebuah
istilah teknis dalam tasawuf, yaitu sekitar abad ke 7 H/13 M.[4]
B.
INSAN
KAMIL MENURUT PARA SUFI
1.
Ibn
‘Arabi (1165-1240 M)
Untuk
melihat konsep insan kamil dalam pemikiran Ibn’Arabi,W.C. Chitink salah satu
tokoh Barat yang meneliti konsep insan kamil Ibn’Arabi sebagaimana dikutip
Kautsar Azhari Noer, berpendapat bahwa perlu dibedakan antara manusia sempurna
pada tingkat universal atau kosmik dengan manusia sempurna pada tingkat
particular atau individual. Menurutnya pada tingkat particular, adalah hakekat
manusia sempurna asli yang abadi dan permanen. Sedangkan manusia sempurna pada
tingkat particular adalah perwujudan manusia sempurna ditengah-tengah manusia
banyak, yaitu dalam diri para nabi dan wali Allah.
Namun
berbeda dengan hal itu, menurut Yunasril Ali yang juga meneliti konsep insan
kamil Ibn’Arabi menyatakan bahwa sebenarnya Ibn’Arabi tidak membedakan kedua
bentuk insan kamil tersebut, hanya saja dia memang berbicara dalam dua bentuk
insan kamil tersebut. Sehingganya
menurut Kautsar azhari Noer, ketika Ibn’Arabi berbicara tentang manusia (al-insan), biasanya yang dimaksud adalah
“manusia sempurna” (al-insan al-kamil), baik
pada tingkat universal maupun pada tingkat particular. Sebab bagaimanapun juga,
bentuk pertama tidak akan dipandang sempurna kalau tidak berwujud dalam bentuk
kedua.
Manusia
sempurna pada tingkat universal disebut oleh Ibn’Arabi dengan banyak nama,
misalnya dengan nama al-Haqiqah al-Muhammadiyyah (Hakikat Muhammad), yaitu
manusia tidak histori, tidak ada dalam alam nyata; ia hanya ada dalam ilmunya
Tuhan. Manusia dalam pengertian ini hanya ada sejak ‘azali dan tetap ada untuk
selama-lamanya. Secara ontologis manusia sempurna adalah asal dan tujuan alam.
Ia adalah model dari kesempurnaan spiritual dan pemandu semua manusia,
perantara antara alam dan Tuhan.[5]
Konsepsi
insan kamil Ibn’Arabi berdasarkan pada satu asumsi bahwa Allah pada awalnya
adalah tersembunyi, kemudian Allah ingin dikenal. Dalam konteks ini, Ibn’Arabi
memperkuat argumennya berdasarkan sebuah hadis qudsi yang artinya: “Aku pada
mulanya adalah pembendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal,
maka Kuciptakan makhluk. M aka dengan itu mereka mengenal-Ku”. [6]
Proses
yang harus dilalui untuk mencapai kedudukan sebagai insan kamil ini menurut
Ibn’Arabi adalah dengan at-takhalluq bi
akhlaq Allah (berakhlak dengan akhlak Allah) yaitu dengan berakhlak dengan
nama-nama Allah; at-takhalluq bi asma
Allah. Takhalluq berarti mengambil nama Allah SWT yang telah ada dalam diri
manusia, yaitu berupa potensialitas. Kemudian potensialitas yang ada dalam diri
manusia itu harus diaktualisasikan secara riil.[7]
2.
Abd
al-Karim al-Jilli
Insan
kamil merupakan ajaran tasawuf terpenting dari al-Jilli. Secara umum pengertian
insan kamil menurut al-Jilli dapat dilihat dari kutipan berikut :“Insan kamil pertama sejak adanya wujud
hingga akhir lamanya, yang mengkristal pada setiap zaman. Dan insan kamil
adalah Nabi Muhammad SAW. Maka insan kamil merupakan asal wujud atau menjadi
poros/kutub yang kemudian berkembang atasnya roh wujud dari awal hingga akhir”.[8]
Al-Jilli,
sebagaimana Ibn’Arabi juga melandasi konsepsi insan kamilnya pada hadis-hadis
Rasulullah, diantaranya adalah :”Allah
menciptakan manusia dengan citra Tuhan Yang Maha Rahman”. Dan hadis lain :
“Allah menciptakan manusia menurut
citra-Nya”. Oleh karena itu, manusia adalah nuskhah (kopi) Tuhan, yang
secara esensial pada diri insan kamil terpantul citra Tuhan. Dengan demikian,
pada satu sisi insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sedangkan
pada sisi lain ia merupakan miniature segenap jagad raya.
Selanjutnya
insan kamil menurut al-Jilli merupakan Nuskha Tuhan, sehingganya sifat Allah :
Hidup, Mengetahui, Tinggi, Berkehendak, Mendengar, Melihat, dan sebagainya,
juga dimiliki oleh manusia (Adam). Kemudian setelah Tuhan menciptakan
substansi, maka sifat-sifat-Nya kemudian dikonfrontasikan dengan sifat Adam. Ke
Dia-an (huwiyyah) yang ilahi
dikonfrontasikan dengan kediaan Adam, ke-Aku-an Ilahi dengan kesadaran aku Adam,
dan esensi Ilahi dengan esensi Adam. Sehingganya, Adam berhadapan dengan Allah
dengan segala hakikat-Nya. Dalam perspektif ini, Adam dari sisi penciptaannya
merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaan, sebab pada
dirinya terdapat sifat-sifat dan nama-nama Ilahi.[9]
Berkaitan
usaha untuk meraih derajat insan kamil, Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui orang sufi.
Dalam istilahnya, maqam disebut
al-Martabat (jenjang/tingkatan). Martabat-martabat itu adalah :
1. Al-Islam,
islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi
tidaknya dilakukan dalam ritual, tetapi harus dipahami dan diorasakan lebih
dalam.
2. Al-Iman,
yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan
dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam
gaib dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi. Iman
menunjukkan sampainyta hati untuk mengetahui suatu yang jauh diluar jangkauan
akal sebab yang diketahui akal tidak selalu membawa pada keyakinan.
3. Al-Shalah.
Pada maqam ini seorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus-menerus kepada
Allah dengan perasaan yang khauf dan raja’. Tujuan ibadah pada maqam ini adalah mencapai muqtah Ilahiah pada lubuk hati sehingga menaati
syari’at dengan baik.
4. Al-Ihsan.
Maqam ini menunjukkan bahwa seorang
sufi mencapai tingkat menyaksikan efek ( atsar ) nama dan sifat Tuhan sehingga
dalam ibadahnya merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya.
5. Al-syahadah,
pada maqam ini, seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah
kepada Allah tanpa pamrih, mengingat terus-menerus dan meninggalkan hal-hal yang
menjadi keinginan pribadi.
6.
Al-shiddiqiyyah,
merupakan tingkat pencapaian hakikat ma’rifah yang diperoleh secara bertahap,
mulai ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, haqq
al-yaqin.
7.
Al-Qurbah,
merupakan
maqam seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati
sifat dan nama Tuhan.[10]
3.
Ibn
Al-Farid
Ibn
Al-Farid dari Cairo (1181-1235 M) menimbulkan faham Al-Haqiqah Al-Muhammadiah
(konsep Muhammad). Menurut fahamnya Al-Haqiqah Al-Muhammadiah diciptakan Tuhan
semenjak azal sesuai dengan bentuk-Nya sendiri. Oleh karena itu orang ingin tahu
Tuhan, harus berusaha mencapai Abdul Al-Karim Al-Jili (Wafat 1428 M) membawa filsafat Al-Insan
Al-Kamil (manusia sempurna). Manusia sempurna adalah Al-Insan Al-Kamil sama dengan
Al-Nur Al-Muhammadiah (cahaya Muhammad) atau Al-Haqiqah Al-Muhammadiah tersebut
diatas dan merupakan cermin bagi Tuhan.[11]
C.
KAJIAN
INSAN KAMIL OLEH TOKOH-TOKOH NUSANTARA
1.
Hamzah
Fansuri
Dalam
pemikiran Hamzah Fansuri, insan kamil merupakan puncak dari kajian tasawufnya.
Pemikirannya ini tampaknya memang banyak
dipengaruhi ajaran tasawuf Ibn’Arabi. Menurutnya, wujud hanyalah satu walaupun
kelihatan banyak. Dari wujud yang satu itu ada yang merupakan kulit (mazhar, kenyataan lahir), dan ada yang
berupa isi (kenyataan batin). Semua benda sebenarnya merupakan manifestasi dari
yang haqiqi, yang disebut Allah Ta’ala, bahwa tujuan kahir
dari Tajjali Zat Yang Mutlak adalah
mendemonstrasikan manusia sebagai puncak alam semesta.[12]
Konsepsi
insan kamil yang dikemukakan oleh Hamzah Fansuri ini pada hakikatnya tidak jauh
berbeda dengan apa yang dikemukakan al-Jilli ataupun Ibn’Arabi, yang mana
insane kamil adalah penampakan citra Tuhan yang paling sempurna. Namun, kalau
al-Jilli meneyebutnya proses penampakan citra Tuhan dengan tajalli, maka Hamzah menyebutnya dengan istilah ta’ayyun.[13]
2.
Nur
al-Din al-Raniri
Insan
kamil dalam konsepsi Syeikh Nur al-Din al-Raniri adalah manusia yang dalam
dirinya telah memiliki hakikat Muhammad atau juga nur Muhammad yang merupakan
makhluk yang pertama-tama yang diciptakan Allah dan juga menjadi sebab
diciptakan alam ini. Syeikh Nur al-Din mengatakan bahwa nur Muhammad atau ruh
Muhammad adalah hakikat pertama yang mula-mula lahir dalam ilmunya Allah, atau
disebut dengan ta’ayyun awwal (kenyataan
pertama) yang lahir dari tajalli dzat
atas zat. Dengan kata lain, jika sebahagian-sebahagian dari alam ini hanya merupakan sebagian dari wadah
tajalli bagi sebagian nama dan sifat Allah, maka wadah kenyataan bagi tajalli
nama Allah yang menghimpun segala nama dan sifat hanyalah pada insan kamil.
Dengan demikian insan kamil merupakan cermin bagi Allah untuk melihat citra
kesempurnaan-Nya.[14]
Selain itu
insan kamil juga disebutnya sebagai khalifah Allah pada rupa dan makna.Yang
dimaksud dengan dengan rupa adalah pada hakikat wujudnya. Wujud khalifah itu
terjadi dari wujud Allah yang menciptakannya sebagai khalifah. Dengan kata
lain, dia diciptakan dari sebab wujud-Nya.[15]
3.
Abd
al-Rauf al-Sinkili
Ajaran
tasawuf al-sinkili, yang berkaitan dengan konsep insan kamil adalah martabat perwujudan. Menurutnya,
ada tiga martabat perwujudan : pertama,
martabat ahadiyyah atau la-ta’ayyun, yang
mana alam ketika itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada dalam
ilmunya Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau
ta’ayyun awwal, yang mana sudah
tercipta hakikat Muhammadiyyah yang berpotensial bagi terciptanya alam (a’yan kharijiyyah). ketiga, martabat wahidiyyah atau ta’ayun tsani, yang disebut juga dengan a’yan tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta.[16]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian Bab II
dapat penulis simpulkan bahwa :
·
Insan
kamil artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan
manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna
dalam hidupnya apabila memenuhi criteria-kriteria tertentu. Umat islam sepakat
bahwa diantara manusia Nabi Muhammad Saw.adalah manusia yang telah mencapai
derajat kesempurnaan dalam hidupnya.
·
Insan kamil menurut al-Jilli merupakan
Nuskha Tuhan, sehingganya sifat Allah : Hidup, Mengetahui, Tinggi, Berkehendak,
Mendengar, Melihat, dan sebagainya, juga dimiliki oleh manusia (Adam). Kemudian
setelah Tuhan menciptakan substansi, maka sifat-sifat-Nya kemudian
dikonfrontasikan dengan sifat Adam. Ke Dia-an (huwiyyah) yang ilahi dikonfrontasikan dengan kediaan Adam,
ke-Aku-an Ilahi dengan kesadaran aku Adam, dan esensi Ilahi dengan esensi Adam.
Sehingganya, Adam berhadapan dengan Allah dengan segala hakikat-Nya.
·
Insan kamil dalam konsepsi Syeikh Nur
al-Din al-Raniri adalah manusia yang dalam dirinya telah memiliki hakikat
Muhammad atau juga nur Muhammad yang merupakan makhluk yang pertama-tama yang
diciptakan Allah dan juga menjadi sebab diciptakan alam ini.
DAFTAR PUSTAKA
Maman
Abd. Djaliel, Akhlak Tasawuf,
(Bandung : Pustaka Setia, 1997)
Selamat,
Kasmuri & Ihsan Sanusi, S.Fil.I,M.Ag, Akhlak
Tasawuf (Upaya Meraih Kehalusan Budi dan Kedekatan Ilahi), (Jakarta : Kalam
Mulia, 2012)
http://hanunah.blogspot.com/2010/11/konsep-insan-kamil-dalam-tasawuf-antara.html/ Diakses Pada
Tanggal 16 April 2013
[1]
Drs. Maman Abd. Djaliel, Akhlak Tasawuf,
(Bandung : Pustaka Setia, 1997), h.276
[2]
DR.H. Kasmuri Selamat, MA & Ihsan Sanusi, S.Fil.I,M.Ag, Akhlak Tasawuf (Upaya Meraih Kehalusan Budi
dan Kedekatan Ilahi), (Jakarta : Kalam Mulia, 2012),h.143
[3] Ibid.,h.144
[4] Ibid.,h.145
[5] Ibid.,h.147-148
[6] Ibid.,h.149
[7] Ibid.,h.153
[8] Ibid.,h.156
[9] Ibid.,h.157-158
[10] Ibid.,h.161-162
[11] Op.Cit.,h.279
[12] Op.Cit.,h.163
[13] Ibid.,h.165
[14] Ibid.,h.165-166
[15] http://hanunah.blogspot.com/2010/11/konsep-insan-kamil-dalam-tasawuf-antara.html/
Diakses Pada Tanggal 16 April 2013
[16] Op.Cit.,h.168
No comments:
Post a Comment