BAB I
PENDAHULUAN
Sejak 1960 an pengharaman riba (bunga atau rente ) telah
menjadi salah satu isu yang paling banyak didiskusikan dikalangan muslim.
Keadilan,sosio, ekonomi salah satu cirri yang menonjol dari suatu masyarakat
islam, diharapkan menjadi suatu jalan hidup ( way of live ) dan bukan sebagai
fenomena yang terisolasi. Semangat ini harus menembus interaksi
manusia,social,ekonomi,dan politik. Ini adalah konsekuensi dari baik persepsi
bahwa bunga bank adalahriba, maupun karena sifat dominant dari bunga dari
system perbankan saat ini.
Ada 2 pandangan utama mengenai riba, banyak muslim yang
percaya bahwa interpretasi seperti yang terdapat dalam fiqih (hokum islam )
adalah interpretasi yang tepat dan karenanya harus diikuti. Interpretasi ini
mengandaikan bahwa setiap tambahan yang ditetapkan dalam suatu transaksi
pinjaman melebihi dan diatas pokok pinjaman adalah riba. Dan diantara ajaran
islam yang paling untk menegakkan keadilan dan membatasi eksploitasi dalam
transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk upaya “memperkya diri” secara
tidaksah ( aql amwal al-nas bi al-batil ). Al-Qur’an dengan tegas memerintahkan
kaum muslimin untuk tidak dibenarkan (Al-Baqarah 180 dan An-Nisaa’ 29, juga
lihat An-Nisaa’ 161 dan At-Taubah 34 ). Salah satu sumber penghasilanpenting
yang tidak dapat dibenarkan adalah menerima keuntungan yang dalam suatu
transaksi bisnis tanpa memberikan imbalan. Riba sdalam system islam merupakan
sumber penghasilan yang tidak dapat dibenarkan.
BAB II
PEMBAHASAN
RIBA DAN BUNGA BANK
A.
MACAM-MACAM
RIBA
Menurut
bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
1.
Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah
meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2.
Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan
riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada
orang lain.
3.
Berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal
dari firman Allah :
ôN¨tI÷d$# ôMt/uur
“Bumi jadi subur dan gembur”. (QS: Al-Haj
: 5)
Sedangkan
menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut AL-Mali ialah :
“Akad
yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya
menurut ukuran syara’ ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua
belah pihak atau salah satu keduanya”.[1]
Menurut
Ibn al-Jauziyah dalam kitab I'lam
al-Muwaqi'in”an Rabal-A’alamin riba dibagi menjadi dua bagian, riba jali
dan riba khafi. Riba jali sama dengan riba nasi’ah dan riba khafi merupakan
jalan yang menyampaikan kepada riba jali.
Riba Nasi’ah adalah riba yang
pembayarannya atau penukarannya berlipat gnda kaena waktunya diundurkan,
edangkan riba fadhl semat-mata berlebihan pembayarannya, baik sedikit maupun
banyak. Riba Jali dan riba Khafi yang
dijelaskan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyah diatas juga dujelaskan pula bahwa
menurut beliau riba Jali adalah riba yang nyata bahaya dan mudaratnya, sedangkan
riba Nasi’ah dan riba Khafi adalah riba yang tersembunyi bahay dan mudaratnya.
Inilah yang disebut riba Fadli yang besar kemungkinan membawa pada riba
Nasi’ah.
Selanjutnya Ibn Qoyyim menyatakan
dilarang berpisah dalam perkara tukar menukar sebelum ada timbang terima.
Menurut Sulaiman Rasyid 2 orang yang bertukar barang atau jual beli berpisah
sebelum timbang terima disebut riba Yad.Menurut Ibn Qoyyim perpisahan 2 orang
yang melakukan jual beli sebelum serah terima mengakibatkan perbuatan tersebut
menjadi riba.Riba Qardhi sama dengan riba Fadli hanya riba Fadli kelebihannya
terjadi ketika Qardli berkaitan dengan waktu yang diundurkan.
Menurut sebagian ulama riba dibagi
menjadi 4 macam, yaitu:
1. Riba Fadli yaitu nilai tambah atau
kentungan yang didapat dari adanya transaksi jual beli barang yang sejenis
dengan kuantitas atau jumlah yang berbeda. Contoh: saling tukar emas, gandum
denan gandum, beras dengan beras yang semua itu kualitasnya sama namun
kuantitasnya berbeda.
2. Riba Qardhi yaitu nilai tambah atau
keuntungan yang diambil oleh pemberi hutang kepada yang berhutang dari
transaksi pinjam meminjam.Contohnya: menarik bunga tinggi dari pinjaman uang.[2]
3. Riba Yad yaitu mengambil keuntungan
atau nilai lebih leh pelaku jual beli dimana keduanya berpisah dari majlis jual
beli sebelum larangan diserahterimakan.[3]
4. Riba Nasa’ yaitu nilaitambah atau
keuntungan yang diambil oleh pemberi hutang kepada penghutang karena
memperhitungkan keterlambatan waktu bayar, sehingga dalam jual beli menetapkan
harga dua macam harga secara bayar kontan atau dengan kredit.
Juga menurut sebagian ulama dibagi 3
macam, yaitu:[4]
1)
Riba
Fadli yaitu jual beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti
(penukar) dari yang lainnya.
2)
Riba
Nasa’ yaitu jual beli yang pembayarannya diakhirkan tetapi ditambahkan
harganya.
3)
Riba
Yad yaitu jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu) yakni bercerai
beraiantara dua orang yang akad sebelum timbang terima.
B. BUNGA BANK KONVESIONAL DAN BANK
SYARIAH
1. Bunga Bank Konvesional
Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 Bank Konvensional adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Martono (2002) menjelaskan prinsip konvensional yang digunakan bank konvensional menggunakan dua metode, yaitu :
a. Menetapkan bunga sebagai harga, baik
untuk produk simpanan seperti tabungan, deposito berjangka, maupun produk
pinjaman (kredit) yang diberikan berdasarkan tingkat bunga tertentu.
b. Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak
bank menggunakan atau menerapakan berbagai biaya dalam nominal atau prosentase
tertentu. Sistem penetapan biaya ini disebut fee based.
c. Pada bank konvensional,
kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga
simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya
memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga
pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai
dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah).
Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi
antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi
sebagai lembaga perantara saja.
d. Tidak adanya ikatan emosional yang
kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing
pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang
e. Sistem bunga:
·
Penentuan
suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk
pihak Bank
·
Besarnya
prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Penentuan suku
bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak
Bank.
·
Jumlah
pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat
keadaan ekonomi sedang baik.
·
Eksistensi
bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam.
·
Eksistensi
bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam.
·
Pembayaran
bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan
oleh pihak nasabah untung atau rugi.[5]
2.
Bunga Bank Konvensional Menurut Hukum Islam
(Keputusan Musyawarah Nasional
(Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung, 1992)Para musyawirin masih berbeda
pendapatnya tentang hukum bunga bank konvensional sebagai berikut :
a. Ada pendapat yang mempersamakan
antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram.
b. Ada pendapat yang tidak
mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumya boleh.
c. Ada pendapat yang mengatakan
hukumnya shubhat (tidak indentik dengan haram).
Pendapat pertama dengan beberapa
variasi antara lain sebagai berikut :
a. Bunga itu itu dengan segala jenisnya
sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
b. Bunga itu sama dengan riba dan
hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara belum beroperasinya sistem
perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c. Bunga itu soma dengan riba, hukumnya
haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rojihah).
Pendapat kedua juga dengan beberapa
variasi antara lain sebagai berikut:
a. Bunga konsumtif sama dengan riba,
hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
b. Bunga yang diperoleh dari bank
tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
c. Bunga yang diterima dari deposito
yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh.
d. Bunga bank tidak haram, kalau bank
itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.[6]
3.
Bunga Bank Syariah
Perbankan syariah atau perbankan Islam (al-Mashrafiyah
al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang
pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).
Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam
untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga
pinjaman (riba),
serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem
perbankan
konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam
investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau
minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun
prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah
perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank
Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta
dalam komunitas muslim
di dunia.[7]
1. Islam
memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT
sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran
Islam
2. Bank
syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah
(simpanan) sesuai ajaran Islam
3. Bank
syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelola ank pada
posisi yang sangat penting dan menmpatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap
dasar hubungan antara nasabah dan bank.
4. Adanya
kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip
kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan
Nasabah atas jalannya usaha bank syariah.
5. Prinsip
bagi hasil:
a) Penentuan
besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung dan rugi.
b) Besarnya
nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c) Jumlah
pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
d) Tidak
ada yang meragukan keuntungan bagi hasil.
e) Bagi
hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu
tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak.[8]
C.
BUNGA KOPERASI
Koperasi
merupakan organisasi bisnis dalam bentuk syirkah (persekutuan).
Untuk mengetahui status hukum syariah koperasi, pertama-tama harus dilihat dari
aspek hukum syariah tentang akad dan syirkah. Secara syar’i,
koperasi bukanlah syirkah al-amwâl. Koperasi bukan persekutuan
atas pemilikan satu harta/properti tertentu, melainkan tiap anggota menyetor
modal yang kemudian digabungkan dan diputar dalam suatu bisnis. Karena itu
pendapat yang menganggap koperasi adalah boleh karena merupakansyirkah
al-amwâl adalah tidak tepat.
Jika ditelaah
menggunakan hukum syariah, tampak bahwa akad koperasi itu adalah batil
sekaligus mengandung syarat yang fasid Alasannya: Pertama, dari aspek akad syirkah.
Syirkah dalam Islam adalah akad antara dua orang atau lebih yang
bersepakat untuk melakukan aktivitas yang bersifat finansial (aktivitas bisnis)
dengan maksud mendapat laba. Aktivitas syirkah itu harus
berlangsung/berasal dari syarik (mitra). Karena itu, di
dalam akad syirkahitu harus ada unsur badan, yaitu ada yang
berposisi sebagai pengelola. Adanya unsur badan ini menentukan ada
tidaknya syirkah. Hal ini tidak terpenuhi di dalam akad
koperasi. Sebab, yang ada adalah kesepakatan untuk menyetor modal tertentu
dengan tujuan untuk mengadakan pengurus yang menjalankan aktivitas koperasi.
Kesepakatan syirkah itu hanya terjadi pada harta mereka,
sama sekali tidak terjadi pada badan mereka. Jadi, koperasi itu kosong
dari unsur badan sehingga secara syar’i,syirkah-nya
tidak terbentuk atau tidak ada.
Kedua, Secara syar’i, aktivitas
bisnis itu merupakan obyek akad syirkah dan itu merupakan rukun akad. Di dalam
akad Koperasi yang terjadi hanya kesepakatan untuk menyetor modal, tidak
terjadi kesepakatan untuk melakukan aktivitas bisnis. Secara syar’i akad
Koperasi itu kosong dari obyek akad, artinya tidak memenuhi rukun akad syirkah
yang syar’i.Karena itu akad Koperasi adalah batil.
Ketiga, dalam pembentukan
koperasi yang ada adalah negosiasi atas syarat-syarat (AD). Lalu siapa yang
setuju secara sukarela boleh membubuhkan persetujuannya dan dengan itu ia
menjadi anggota dan pendiri. Saat semua pendiri sudah membubuhkan
persetujuannya, berdirilah koperasi itu. Jadi, semuanya hanya menyatakan
persetujuan atau qabul, tidak ada yang menyatakan ijab.
Keikutsertaan tiap orang itu semata didasarkan pada kehendak sepihak dari
masing-masing. Anggota lainnya tidak ditanya apakah menyetujuinya atau
tidak. Kalaupun sebagian tidak setuju seseorang menjadi anggota, maka hal itu
tidak berpengaruh dan orang itu tetap menjadi anggota selama ia secara sukarela
membubuhkan persetujuannya atas AD itu. Jadi, di situ tidak ada ijab-qabul,
sebab yang ada hanya qabul saja. Padahal salah satu rukun
akad yang syar’i itu harus ada ijab-qabul. Itu
artinya harus ada kehendak bersama (irâdah musytarakah), bukan
kehendak sepihak (irâdah munfaridah). Dengan begitu maka akad
koperasi itu dalam pandangan Islam adalah batil.
Keempat, secara syar’i,
andil seorang syarîk (mitra) itu berupa harta dan/atau
tenaga. Karena itu, pembagian laba harus berdasarkan modal atau tenaga
itu. Dalam pandangan Islam, setiap syarat yang menyalahi ketentuan syariah,
termasuk menyalahi konsekuensi akad, adalah syarat yang fasid.
Dalam koperasi, syarat pembagian laba adalah menurut jasa anggota baik dalam
bentuk produksi, penjualan, pembelian, dsb; bukan berdasarkan modal atau kerja.
Jelas ini menyalahi konsekuensi syar’i akadsyirkah itu.
Hal itu merupakan syarat yang fasid sehingga tidak boleh.
Dengan
demikian koperasi dalam pandangan Islam adalah batil dansyirkah-nya
dianggap tidak pernah terbentuk atau tidak pernah ada.Semua tasharruf koperasi
itu adalah batil. Semua harta yang diperoleh melalui koperasi itu juga
harta batil yang diperoleh dengan tasharruf yang batil
sehingga tidak halal untuk dimiliki.
Semua itu jika: Pertama, koperasi itu adalah
koperasi yang hakiki seperti yang dideskripsikan di atas. Jika merupakan syirkah yang
dibentuk sesuai dengan hukum syirkah dalamIslambaik Inan, Abdan, Mudharabah, Wujuhatau Mufawadhah
lalu dinamai koperasi atau didaftarkan sebagai badan hukum koperasi, maka tasharruf-nya
adalah sah dan bertransaksi dengannya adalah boleh.
Kedua, jika koperasi yang hakiki
itu para pendirinya adalah Muslim atau mayoritasnya Muslim. Sebab, status
batil dan haram itu mengikat bagi Muslim dan tidak mengikat bagi non-Muslim.
Artinya, jika koperasi itu para pendirinya non-Muslim atau mayoritasnya
non-Muslim, maka bertransaksi dengan koperasi itu adalah boleh.
Karena batil
maka syirkah seperti ini tidak bisa diperbaiki, tidak boleh dilanjutkan, dan harus
dihentikan. Untuk melanjutkan bisnis, maka harus dibentuk syirkah yang
sama sekali baru, yaitu dengan melakukan akad pembentukan syirkah baru
yang memenuhi hukum tentang syirkah dalam Islam. (www.konsultasi.wordpress.com)[9]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian BAB II dapat penulis simpulkan bahwa :
·
riba menurut AL-Mali ialah :“Akad yang terjadi atas
penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran
syara’ ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau
salah satu keduanya”
·
Menurut
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Bank
Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
·
Perbankan
syariah
atau perbankan Islam (al-Mashrafiyah
al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan
yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).
·
Koperasi merupakan organisasi bisnis dalam
bentuk syirkah (persekutuan). Untuk mengetahui status hukum
syariah koperasi, pertama-tama harus dilihat dari aspek hukum syariah tentang
akad dan syirkah. Secara syar’i, koperasi
bukanlah syirkah al-amwâl. Koperasi bukan persekutuan atas
pemilikan satu harta/properti tertentu, melainkan tiap anggota menyetor modal
yang kemudian digabungkan dan diputar dalam suatu bisnis. Karena itu
pendapat yang menganggap koperasi adalah boleh karena merupakansyirkah
al-amwâl adalah tidak tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi , Fiqih Muamalah, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2005)
Rochim, Abd, Fiqih,(CV
GANI & SDN : 2004)
Rasyid, Sulaiman,
Fiqh Islam, Attahiriyah, (Jakarta : 1976)
http://anandadonie.blogspot.com/2012/12/pengertian-bank-konvensional-dan.html/ Diakses Pada
Tanggal 7 Maret 2013
http://www.kabarislam.com/hukum-fiqih/bunga-bank-konvensional-menurut-hukum-islam/ Diakses Pada
Tanggal 15 Maret 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah/ Diakses Pada
Tanggal 10 Maret 2013
http://daususus.wordpress.com/2012/03/20/perbedaan-perhitungan-suku-bunga-bank-syariah-dan-bank-konvesional/ Diakses Pada
Tanggal 18 Maret 2013
http://konsultasi.wordpress.com/2011/11/29/hukum-koperasi/ Diakses Pada
Tanggal 18 Maret 2013
[1]
Dr.H.Hendi Suhendi,M.Si, Fiqih Muamalah, (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada,2005),h.57-58
[2] Ibid.,h.161-162
[3]
Abd Rochim, Fiqih,(CV GANI & SDN : 2004) h.108
[4]
Sulaiman Rasyid, dalam Fiqh Islam, Attahiriyah, (Jakarta : 1976)h.279
[5] http://anandadonie.blogspot.com/2012/12/pengertian-bank-konvensional-dan.html/
Diakses Pada Tanggal 7 Maret 2013
[6] http://www.kabarislam.com/hukum-fiqih/bunga-bank-konvensional-menurut-hukum-islam/
Diakses Pada Tanggal 15 Maret 2013
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah/
Diakses Pada Tanggal 10 Maret 2013
[8] http://daususus.wordpress.com/2012/03/20/perbedaan-perhitungan-suku-bunga-bank-syariah-dan-bank-konvesional/
Diakses Pada Tanggal 18 Maret 2013
[9] http://konsultasi.wordpress.com/2011/11/29/hukum-koperasi/
Diakses Pada Tanggal 18 Maret 2013
No comments:
Post a Comment