BAB
I
PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber
ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Kajian terhadap hadits sangatlah
menarik karena keberadaanya yang mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang
kehidupa. Penelitian terhadap hadits baik secara keotentikannya ,kandungan
ma’na dan ajaran yang diajarkanya, macam-macam tingkatan dan fungsi dalam
menjelaskan kandungan yang ada pada al-Qur’an banyak dilakukan oleh para ahli.
Hasil dari kajian dan penelitian yang dilakukannya kemudian di publikasikan diberbagai
kalangan akademis diperguruan tinggi, madrsah maupun masyarakat umum melalui
berbagai karya-karya yang telah dirumuskanya. Hasil dari kajian-kajian tersebut
bisa dijadikan sebagai suatu kajian Islam dalam study hadits yang kita
perlukan.
Penerimaan hadis dari
nabi Muhammmad banyak mengandalkan hafalan para sahabat, hanya beberapa sahabat
saja yang menulisnya. Pada awalnya penulisan tersebut hanya dipergunakan untuk
kepentingan individunya. Oleh karena itu hadis-hadis yang ada dari para sahabat
kemudian diterima pra tabi’in ditemukan dengan redaksi dengan lafadz yang asli
dari nabi dan ada pula yang sesuai dengan makna dan maksudnya saja.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
METODE STUDI HADIS
A.
PENGERTIAN
HADIS
Kata
hadis, berasal dari bahasa Arab al-hadits,
jamaknya adalah al-ahadits. Dari segi
literal kata tersebut memiliki banyak arti, diantaranya: al jaded (yang baru), lawan dari qadim (yang lama) dan al
akhbar (kabar atau berita). Dari segi istilah, hadis mempunyai pengertian
yang berbea-beda, sesuai dengan latar belakang dan kajian yang ditekuni oleh
ulama tersebut. Namun pada dasarnya adalah sama, yaitu sesuatu yang datang dari
Rasulullah saw.
Para
ulama hadis memberikan pengertian hadis sama dengan sunnah. Dengan kata lain
bahwa hadis adalah sinonim dari sunnah, yaitu segala apa yang datang dari Rasul
saw. sebelum dan sesudah diutus jadi rasul. Tapi bila kata hadis digunakan
secara mutlak yang berbeda dari yang biasa diriwayatkan dari Rasul saw setelah
diangkat jadi Rasul, baik berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya dan jika
pengertian ini yang digunakan, maka sunnah
pengertiannya lebih luas dari pada hadits.[2]
B.
SEJARAH
DAN KODIFIKASI HADIS
Penulisan
resmi hadis dalam kitab-kitab hadis, seperti dijumpai sekarang baru dimulai
pada masa Bani Umayyah, yaitu pada zaman Umar bin Abd Aziz. Penulisan secara
resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya
perintah dari Khalifah Umar bin Abd Aziz kepada para pakar hadis untuk
menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadis yang dilakukan oleh perorangan
sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian
kodifikasi. Namun, untuk melihat sejarah perkembangan hadis dari waktu ke
waktu, akan dipaparkan mulai zaman Nabi sampai tadwin. Hal ini dianggap
perlu sebagai upaya untuk melihat perjalanan hadis secara periodik.
Para ulama hadis tidak sependapat dalam menentukan jumlah
periodisasi hadis. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode,
bahkan tujuh periode. Berikut ini adalah periodisasi hadis secara garis besar.
Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut
masa wahyu dan pembentukan (‘ashr al-wahy wa al-taqwin). Pada periode
ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadis, karena disamping adanya rasa
takut bercampur antara hadis dan al-Qur’an, juga agar potensi umat Islam lebih
tercurah kepada al-Qur’an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada
juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan. Pada masa ini, para
sahabat menerima hadis dari Nabi melalui dua cara: langsung dan tidak langsung.
Penerimaan secara langsung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian
atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang
tidak langsung di antaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar
dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari
daerah yang datang kepada Nabi. Ciri utama periode ini ialah aktifnya para
sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya secara sendiri-sendiri. Di samping
itu, sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada yang lain melalui
kekuatan hafalan.[3]
Para sahabat yang banyak menerima hadis ialah khulaf rasyidin, Abd Allah
bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu Salamah.
Periode kedua adalah zaman kuhulafa rasyidin.
Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat (zaman
al-tastabut wa al-iklal min al-riwayah), usaha-usaha para sahabat dalam
membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan.
Kekhawatiran muncul karena suhu politik uamt Islam secara internal sudah mulai
labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan
bahkan fitnah. Oleh karenanya para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima
dan meriwayatkan hadis. Mereka melakukan periwayatan hadis dengan dua cara: lafzdi
dan ma’nawi. Periwatan adalah redaksi hadis yang diriwayatkan
betul-betul sama dengan yang disabdakan oleh Nabi. Adapun periwatan dengan ma’nawi
ialah redaksi hadis yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan Nabi, tapi
substansinya sama.
Periode ketiga adalah penyebaran hadis ke berbagai
wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung papa
masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Pada masa ini, wilayah Islam sudah sampai
ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkhand, Spanyol. Bertambah luasnya
wilayah berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang
dibawa oleh para pemimpin atau menjadi guru pengajar di sana. Di antara
tokoh-tokoh hadis pada masa ini ialah Sa’id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan
Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha’i di Kufah, Muhammad bin Sirin
di Bashrah dan Wahab bin Munabih di Yaman.
Periode keempat adalah periode penulisan dan
pembukuan hadis secara resmi (‘ahsr al-kitabat wa al-tadwin). Penulisan
dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd. Aziz (717-720M)
sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayyah kedelapan yang menginstruksikan
kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis
hadis. Bunyi instruksi itu lengkapnya adalah seperti dikutip oleh Muhammad Ajaj
al-Khatib:[4]
“Perhatikanlah atau periksalah hadis-hadis Rasulullah saw,
kemudian tulislah! Aku khawatir lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama;
dan janganlah engkau terima kecuali hadis Rasulullah saw.”
Latarbelakang Umar bin Abd. Aziz menginstruksikan untuk
mengkodifikasi hadis adalah bercampurbaurnya hadis sahih dengan hadis palsu, di
samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis-hadis dengan meninggalnya para
ulama dalam perang. Pentadwinan berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga
melahirkan para ulama hadis, seperti Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq
(w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan
Abd. Al-Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah.
Di samping lahirnya para ulama hadis, dihasilkan pula
sejumlah kitab-kitab karya para ulama, baik berupa ijma’i, al-Musnaf,
maupun al-Musnad. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi’i, al-Musnaf
karya al-Auzi, dan al-Muawaththa’ karya Imam Malik yang disusun atas
perintah khalifah Abu Ja’far al-Mansur.
Kitab-kitab hadis terbitan periode ini belum terseleksi
betul sehingga isinya masih bercampur antara hadis Nabi dan fatwa sahabat,
bahkan fatwa tabi’in, atau hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’
di samping juga hadis palsu.
Periode kelima adalah periode pemurnian,
penyehatan, dan penyempurnaan (ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih)
yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau
tepatnya, saat Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai
al-Mu’tadir. Pada masa ini para ulama mengadakan gerakan penyeleksian,
penyaringan, dan pengklasifikasian hadis-hadis, yaitu dengan cara memisahkan
hadis marfu’ dari hadis maqthu’.[5]
Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadis yang sudah terseleksi,
seperti kitab Sahih, Kitab Sunan, dan Kitab Musnad. Kitab Sahih adalah kitab
atau buku hadis yang hanya memuat hadis-hadis sahih dan hadis-hadis yang tidak
terlalu lemah (dha’if). Adapun kitab Musnad adalah kitab hadis yang
mengoleksi segala macam hadis tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan
tidaknya), di samping juga tidak menerangkan derajat hadis.
Pada
periode ini tersusun enam kitab hadis terkenal yang bisa disebut Kutub
al-Sitah, yaitu:
- Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H)
- Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim (204-262 H)
- Al-Sunan Abu Dawud Karya Abu Dawud (202-275 H)
- Al-Sunan Karya al-Tirmidzi (200-279 H)
- Al-Sunan Karya al-Nasa’i (215-302 H)
- Al-Sunan Karya Ibnu Majah (207-273 H)
Periode keenam adalah masa pemeliharaan,
penertiban, penambahan, dan penghimpunan (ashr al-tahzib wa al-tartib wa
al-istidrak wa al-jam’u). Periode ini berlangsung sekitar dua setengah
abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat
jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadis pada periode keenam sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan gerakan ulama periode kelima. Hasil dari gerakan mereka
adalah lahirnya sejumlah kitab hadis yang berbeda seperti Kitab Syarah,
Kitab Mustakhrij, Kitab athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami’. Kitab
Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadis-hadis
tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadis sebelumnya. Kitab mustakhrij
ialah kitan hadis yang metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis
dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari
sanad ulama hadis tersebut. Kitab athraf ialah kitab hadis yang hanya
memuat sebagian matas hadis, tetapi sanadnya ditulis lengkap.[6]
Kitab Mustadrik ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang memenuhi
syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari keduanya.
Kitab Jami’ ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang telah termuat dalam
kitab-kitab yang telah ada.
Periode ketujuh adalah periode pensyarahan,
penghimpunan, dan pentakhrijan (‘ahl al-syarh wa al-jam’u wa al-takhrij wa
al-hadits). Periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, terutama
dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadis-hadis. Ulama para periode ini
mulai mensistemasi hadis-hadis menurut kehendak penyusun, memperbaharui
kitab-kitab mustakhrij dengan cara membagi-bagi hadis menurut
kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik pembicaraan.[7]
C.
KEDUDUKAN
DAN FUNGSI HADIS
Umat
islam sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam kedua setelah
al-qur'an. kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam
al-qur’an maupun dalam hadis.[8]
Keberadaan
hadist sebagai sumber hukum ke dua setelah Al-qur’an, selain ketetapan Allah
yang dipahami dari ayat-ayatnya secara tersirat juga merupakan ijma’
(konsensus) seperti terlihat dalam perilaku para sahabat. Misalnya:
Penjelasan Utsman bin Affan mengenai etika makan dan cara duduk dalam shalat,
seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Begitu juga, Umar bin
Khattab mencium Hajar Aswad karena mengikuti jejak Rasul. Ketika berhadapan
dengan Hajar Aswad, ia berkata, “Saya tahu engkau adalah batu. Jika
tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan mencium mu.” Janji Abu Bakar untuk
tidak meninggalkan atau melanggar perintah Rasul yang ia ikrarkan ketika
disumpah (Bai’ah) menjadi khalifah.
Menurut
T.M Hasybi al-Shiddieqi sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari Ad (1994:111
-128) dan Mundzir Suparta (1996:49-56), dan Faturrahman (1974:65) fungsi hadis
terhadap Al-Qur’an itu sebagai penjelas (al-bayan).[9]
D.
MODEL-MODEL PENELITIAN HADIS
1.
Model H.M.Quraisy Shihab
Penelitian yang di lakukan oleh Qurasy syihab
mengenai hadis lebih sedikit dibandingkan penelitiannya terhadap Al Quran.
Beliau hanya meneliti dua sisi dari hadis tersebut, yakni mengenai hubungan
hadis dan Al quran dan posisi sunnah dalam tafsir.
Hasil penelitian Quraish Shihab mengenai fungsi
hadis terhadap Al Quran menekankan bahwa hadis atau sunnah berfungsi menjelaskan
maksud dari firman-firman Allah. Seperti dalam surat an Nahl ayat 44 Allah
berfrman :
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
“Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” ( Q. S An Nahl :44)
Pandangan ulama terhadap bentuk dan sifat serta
fungsi sunnah sangat beragam, ada yang di perselisihkan dan ada pula yang
tidak. Adapun pendapat yang tidak di perselisihkan menengenai fungsi sunnah
terhadap Al quran seperti yang di ungkapkan Abu Halim adalah :
Pertama Fungsi sunnah
yaitu sekedar utuk menguatkan apa yang ada dalam Al quran. Oleh sebab itu
sunnah menjadi sumber hukum yang kedua setelah Al quran.
Sedangkan yang kedua
fungsi sunnah adalah bukan hanya sekedar untuk memperkuat Al quran, melainkan
sunnah berfungsi untuk memperluas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir
dari ayat-ayat Al quran.
Selain itu hadis juga berfungsi sebagai penetap
hukum yang tidak di dapatkan dalam Al
quran. Sebagai contohnya yaitu : “Tidak
boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan “ammah ( saudari
bapak ) nya dan seorang wanita dengan khalah ( saudari ibu ) nya.” ( H.R
Bukhari ). Dalam hadis lain sesunguhnya Allah telah mengharamkan mengawini
seseorang karena sepersusuan, sebagaimana Allah telah mengharamkan karena
senasan ( H.R. Bukhari dan Muslim ).
2.
Model Mustafa Al-Siba’iy
Mustafa Al-Siba’iy dikenal sebagai tokoh
intelektual muslim dari mesir, selain banyak meneliti mengenai masalah-masalah
sosial dan ekonomi beliau juga menulis buku-buku yang mengkaji tentang islam.
Dalam buku-bukunya itu beliau mengkaji dengan
menggunakan pendekatan historis dan di sajikan secara deskriptis analitis.
Yakni dalam sistem penyajian menggunakan pendekatan urutan waktu dalam sejarah.
Ia berupaya mendaptkan bahan-bahan penelitian sebanyak-banyaknya dari berbagai
leteratur hadis sepanjang perjalanan kurun waktu.
Hasil penelitian Mustafa Al-Siba’iy antara lain
mengenai sejarah proses dan tersebarnya hadis dimulai dari masa rasulullah
sampai terjadinya upaya pemalsuan hadis dan usaha para lama untuk
membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah.
Selanjutnya beliau juga menyampaikan hasil
penelitiannya mengenai pandangan kaum Khawarij. Syi’ah, Mu’tazilah dan
mutakllimin, para penulis moderen dan para umat muslim umumny. Dilanjutkan
dengan laporan tentang sejumlah kelompok dimasa sekarang yang mengingkari
kehujjahan Al sunnah disertai pembelaan.
3.
Model Muhammad Al- Ghazali
Muhammad Al Ghazali menyajikan hasil
penelitiannya tentang hadis dalm buku al-sunnah al-Nabawiyah baina ahl Al
Fiqh wa ahl al hadits. Dilihat dari segi kandungannya yang terdapat dalam
buku tersebut, nampak bahwa penelitian hadis yang dilakukan Muhammad al Ghazali
ini termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami
sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang uncul dimasyarakat yang untuk
kemudian di berikan status hukumnya dengan berpijak pada kontek hadis tersebut.
Dengan kata lain beliau terlebih dahulu memahami hadis yang di telitinya itu
dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan masalah aktual yang
muncul di masyarakat.
4.
Model Zain Al-Din ‘Abdl Ar Rahim bin Al husain
Al iraqiy
Beliau hidup tahun 725-806 terolong ulama
generasi pertama yang banyak melakukan penelitian hadis. Bukunya yang berjudul al
Taqyid wa al Idlah Syarh muqaddiman ibn al Shalah adalah termasuk kitab
ilmu hadis yang tertua yang banyak menjadi rujukan bagi penulis ilmu hadis
generasi berikutnya.
Beliau nampaknya mencoba membangun ilmu hadis
dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta berbagai pendapat para ulama yang
di jumpai dalam kitab tersebut, dengan demikian, penelitiannya bersifat
penelitia awal, yakni penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan
yang digunakan untuk membangun suatu ilmu. Buku inilah yang pertama kali
mengemukakan berbagai macam hadis yang di dasarkan pada kualitas sanad dan
matannya, yaitu hadis yang tergolong sahih, hasan dan dha’if. Kemudian dilihat
pula dari keadaan tersambung atau terputusnya sanad yang di baginya menjadi
hadis musnad, muttasil, marfu’, mauquf, mursal, al munqati. Selanjutnya dilihat
pula dari eadaan kualitas matannya.
5.
Model penelitian lainnya
Selanjutnya, terdapat pula model penelitian
hadis yang di arahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja misalnya Rifa’ah
Fauzi Abd Muthalib pada tahun 1981, meneliti perkembangan sunnah pada tahun ke
dua hijriah. Selanjutnya Mahmud Abu Rayyah melalui telaah kritis terhadap hadis
Nabi SAW. Dan masih banyak ulama-Ulama lain yang meneliti hadis dengan
mengrahkan pada aspek tertentu saja.
Dalam pada itu ada pula yang menyusun buku-buku
hadis dengan mengambil bahan-bahan pada penelitian tersebut di atas.
Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadis tumbuh menjadi
salah satu di siplin ilmu keislaman. Penelitian hadis masih tampak begitu luas
terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian
terhadap kualitas hadis yang di pakai dalam berbagai kitabmisalnya belum banyak
di lakukan, demikian pula penelitian hadis yang ada hubungannya dengan masalah
atual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendedkatan dalam memahami hadis juga
belum banyak di gunakan. Misalnya pendekatan sosiologis, pedagogis,
antropologis, ekonomi, politik, filosofis, tampaknya belum banyak digunakan
oleh para peneliti hadis sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, tampak bahwa
pemahaman masyarakat terhadap hadis umumnya masih bersifat parsial.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian Bab II dapat penulis
simpulkan bahwa :
·
Kata hadis, berasal dari bahasa Arab al-hadits, jamaknya adalah al-ahadits. Dari segi literal kata
tersebut memiliki banyak arti, diantaranya: al
jaded (yang baru), lawan dari qadim (yang
lama) dan al akhbar (kabar atau
berita). Dari segi istilah, hadis mempunyai pengertian yang berbea-beda, sesuai
dengan latar belakang dan kajian yang ditekuni oleh ulama tersebut. Namun pada
dasarnya adalah sama, yaitu sesuatu yang datang dari Rasulullah saw.
·
Penulisan resmi hadis dalam kitab-kitab
hadis, seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayyah, yaitu
pada zaman Umar bin Abd Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut
juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd
Aziz kepada para pakar hadis untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan
hadis yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak
dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi.
·
Umat islam sepakat bahwa hadis merupakan
sumber ajaran islam kedua setelah al-qur'an. kesepakatan mereka didasarkan pada
nas, baik yang terdapat dalam al-qur’an maupun dalam hadis
B.
SARAN
Demikianlah
makalah ini penulis tulis. Diharapkan pada semua rekan-rekan dapat belajar
dengan giat agar tujuan pendidikan dapat tercapai dan diharapkan pada pendidik
agar mampu memberikan pembelajaran seiring dengan pemenuhan kebutuhan peserta
didik sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://teukuamnar.blogspot.com/2012/12/model-model-penelitian-hadis.html/Diakses Pada Tanggal 19
Februari 2012
Zainimal, Ulumul Hadis, Fakultas Tarbiyah IAIN
Imam Bonjol Padang, 2001
Abdul
Hakim, Atang & Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya)
[1]
http://teukuamnar.blogspot.com/2012/12/model-model-penelitian-hadis.html/Diakses
Pada Tanggal 19 Februari 2012
[2]
Drs.Zainimal, M.Ag. Ulumul Hadis, Fakultas
Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang, 2001.h.1
[3] Drs.
Atang Abdul Hakim, MA. & Dr. Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya).h.88-89
[4] Ibid.h.90
[5] Ibid.h.91
[6] Ibid.h.92
[7] Ibid.h.93
[8] Ibid.h.85
[9] Ibid.h.87
[10]
http://teukuamnar.blogspot.com/2012/12/model-model-penelitian-hadis.html/Diakses
Pada Tanggal 19 Februari 2012
No comments:
Post a Comment