Sunday 6 October 2013

INSAN KAMIL


BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah Sebuah ciptaan yang paling sempurna dibanding ciptaan yang lain, manusia yang dibekali dengan akal dan hati sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. sungguh sangat unik ketika kita mengkaji manusia karena penuh misteri khususnya dalam hal pencapaian diri atau pencapaian sebagai insane kamil, meskipun hal itu sulit untuk diraih tapi kita pun tidak semudah untuk menyerah, dengan dibekali kelebihan yang ada pada diri manusia maka tidak menutup kemungkinan untuk bisa mencapainya. mengutip pernyataan Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah pengantar (Murtadha Muthahhari, 1994) mengatakan bahwa manusia merupakan miniatur dari alam raya. Jika pada alam raya terdapat tiga tingkat alam yaitu : rohani, khayali, dan jasmani, maka pada manusia ketiga alam tersebut juga terwujud yaitu dalam bentuk ruh, nafs(diri), dan jism (tubuh).
Perlu kita ketahui Insan(manusia) adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan sebaik-baiknya penciptaan. meskipun dalam prakteknya manusia tidak bisa sempurna tapi kitapun tetap berusah untuk menjadi pribadi-pribadi yang selalu berusaha dan berbuat yang terbaik bagi yang lainya.









BAB II
PEMBAHASAN
INSAN KAMIL

A.    SEJARAH SINGKAT KONSEP INSAN KAMIL
Insan  kamil artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi criteria-kriteria tertentu. Umat islam sepakat bahwa diantara manusia Nabi Muhammad Saw.adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayatnya, segenap perikehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun dalam dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya.[1]
Istilah insan kamil berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata; al-insan yang berarti manusia, dan al-kamil berarti sempurna. Istilah insane kamil (al-insan al-kamil) ini oleh R.A Nocholson diterjemahkan kedalam bahasa  inggris dengan the Perfect man. Ini diantaranya terlihat dari judul bukunya The Doctrin of the Perfect man (Ajaran tentang Manusia Sempurna) dan dalam bukunya yang berjudul  Studies in Islamic Mystiscm, dengan membuat satu bab tentang the perfect man (manusia sempurna). Terjemahan seperti itu juga dapat dilihat dari tulisan Muhammad Iqbal, dalam bukunya The Development of Metapyhsics in Persia. Sementara itu, Titus Burckhardt menerjemahkannya kedalam bahasa Perancis dengan de L’homme Universal. Istilah ini ia gunakan untuk menerjemahakan karya al-Jilli, al-insan al-kamil.[2] Kemudian dari bahasa Perancis tersebut disalin oleh Angela Culme-Seymour ke dalam bahasa Inggris dengan universal man.
Berkaitan dengan asal-usul munculnya konsep insan kamil, terdapat perbedaan pandangan antara para peneliti terutama dalam hal ini tentu peneliti Barat. H. H. schaeder dan L. Massignon memandang bahwa insane kamil pada mulanya bukan berasal dari islam. Menurutnya kedua peneliti asal barat ini, konsep insan kamil pada mulanya berasal dan berakar dari agama Parsi Kuno. Nama Gayomart (Arab : Kiyumarts), dalam agama parsi kuno merupakan “manusia pertama” atau “manusia yang qadim” merupakan manusia yang memiliki daya-daya Ilahi dan memainkan peranan penting dalam peristiwa penciptaan alam ini.[3]
Seiring dengan hal itu, Seyyed Mehsen Miri salah seorang tokoh yang membahas insan kamil dalam perspektif Islam dan Hindu dalam Kristen menurut perjanjian Baru Adam dan Yesus dianggap sebagai anak Allah. Apapun maksudnya, yang jelas ada kesamaan antara Tuhan dan keduanya (Adam dan Yesus). Pada satu sisi ia mensucikan dosa yang dialkukan oleh Adam sehingga ia rela untuk disalib, makanya ia disebut sebagai manusia pembebas. Dalam Perjanjian Baru, sifat ketuhanan Yesus yang disebut dengan logos, ada sebelum adanya alam ini, meskipun secara fisik keberadaannya dating jauh setelah adam. Seluruh makhluk yang ada di alam  ini diciptakan untuk dia dan dalam dirinya.
Sedangkan Yusuf Zaidan memandang konsep Insan Kamil ini secara murni dari Islam. Ia membantah pendapat tokoh barat tersebut dengan mengemukakan beberapa alasan. Senada dengan pendapat Yusuf Zaidan, R.A. Nicholson juga berpendapat bahwa Ibn ‘Arabi-lah yang pertama sekali menggunakan ungkapan insane kamil sebagai sebuah istilah teknis dalam tasawuf, yaitu sekitar abad ke 7 H/13 M.[4]

B.     INSAN KAMIL MENURUT PARA SUFI
1.      Ibn ‘Arabi (1165-1240 M)
Untuk melihat konsep insan kamil dalam pemikiran Ibn’Arabi,W.C. Chitink salah satu tokoh Barat yang meneliti konsep insan kamil Ibn’Arabi sebagaimana dikutip Kautsar Azhari Noer, berpendapat bahwa perlu dibedakan antara manusia sempurna pada tingkat universal atau kosmik dengan manusia sempurna pada tingkat particular atau individual. Menurutnya pada tingkat particular, adalah hakekat manusia sempurna asli yang abadi dan permanen. Sedangkan manusia sempurna pada tingkat particular adalah perwujudan manusia sempurna ditengah-tengah manusia banyak, yaitu dalam diri para nabi dan wali Allah.
Namun berbeda dengan hal itu, menurut Yunasril Ali yang juga meneliti konsep insan kamil Ibn’Arabi menyatakan bahwa sebenarnya Ibn’Arabi tidak membedakan kedua bentuk insan kamil tersebut, hanya saja dia memang berbicara dalam dua bentuk insan kamil  tersebut. Sehingganya menurut Kautsar azhari Noer, ketika Ibn’Arabi berbicara tentang manusia (al-insan), biasanya yang dimaksud adalah “manusia sempurna” (al-insan al-kamil), baik pada tingkat universal maupun pada tingkat particular. Sebab bagaimanapun juga, bentuk pertama tidak akan dipandang sempurna kalau tidak berwujud dalam bentuk kedua.
Manusia sempurna pada tingkat universal disebut oleh Ibn’Arabi dengan banyak nama, misalnya dengan nama al-Haqiqah al-Muhammadiyyah (Hakikat Muhammad), yaitu manusia tidak histori, tidak ada dalam alam nyata; ia hanya ada dalam ilmunya Tuhan. Manusia dalam pengertian ini hanya ada sejak ‘azali dan tetap ada untuk selama-lamanya. Secara ontologis manusia sempurna adalah asal dan tujuan alam. Ia adalah model dari kesempurnaan spiritual dan pemandu semua manusia, perantara antara alam dan Tuhan.[5]
Konsepsi insan kamil Ibn’Arabi berdasarkan pada satu asumsi bahwa Allah pada awalnya adalah tersembunyi, kemudian Allah ingin dikenal. Dalam konteks ini, Ibn’Arabi memperkuat argumennya berdasarkan sebuah hadis qudsi yang artinya: “Aku pada mulanya adalah pembendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk. M aka dengan itu mereka mengenal-Ku”.  [6]
Proses yang harus dilalui untuk mencapai kedudukan sebagai insan kamil ini menurut Ibn’Arabi adalah dengan at-takhalluq bi akhlaq Allah (berakhlak dengan akhlak Allah) yaitu dengan berakhlak dengan nama-nama Allah; at-takhalluq bi asma Allah. Takhalluq berarti mengambil nama Allah SWT yang telah ada dalam diri manusia, yaitu berupa potensialitas. Kemudian potensialitas yang ada dalam diri manusia itu harus diaktualisasikan secara riil.[7]

2.      Abd al-Karim al-Jilli
Insan kamil merupakan ajaran tasawuf terpenting dari al-Jilli. Secara umum pengertian insan kamil menurut al-Jilli dapat dilihat dari kutipan berikut :“Insan kamil pertama sejak adanya wujud hingga akhir lamanya, yang mengkristal pada setiap zaman. Dan insan kamil adalah Nabi Muhammad SAW. Maka insan kamil merupakan asal wujud atau menjadi poros/kutub yang kemudian berkembang atasnya roh wujud dari awal hingga akhir”.[8]
Al-Jilli, sebagaimana Ibn’Arabi juga melandasi konsepsi insan kamilnya pada hadis-hadis Rasulullah, diantaranya adalah :”Allah menciptakan manusia dengan citra Tuhan Yang Maha Rahman”. Dan hadis lain : “Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya”. Oleh karena itu, manusia adalah nuskhah (kopi) Tuhan, yang secara esensial pada diri insan kamil terpantul citra Tuhan. Dengan demikian, pada satu sisi insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sedangkan pada sisi lain ia merupakan miniature segenap jagad raya.
Selanjutnya insan kamil menurut al-Jilli merupakan Nuskha Tuhan, sehingganya sifat Allah : Hidup, Mengetahui, Tinggi, Berkehendak, Mendengar, Melihat, dan sebagainya, juga dimiliki oleh manusia (Adam). Kemudian setelah Tuhan menciptakan substansi, maka sifat-sifat-Nya kemudian dikonfrontasikan dengan sifat Adam. Ke Dia-an (huwiyyah) yang ilahi dikonfrontasikan dengan kediaan Adam, ke-Aku-an Ilahi dengan kesadaran aku Adam, dan esensi Ilahi dengan esensi Adam. Sehingganya, Adam berhadapan dengan Allah dengan segala hakikat-Nya. Dalam perspektif ini, Adam dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaan, sebab pada dirinya terdapat sifat-sifat dan nama-nama Ilahi.[9]
Berkaitan usaha untuk meraih derajat insan kamil, Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui orang sufi. Dalam istilahnya, maqam disebut al-Martabat (jenjang/tingkatan). Martabat-martabat itu adalah :
1.      Al-Islam, islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidaknya dilakukan dalam ritual, tetapi harus dipahami dan diorasakan lebih dalam.
2.      Al-Iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam gaib dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi. Iman menunjukkan sampainyta hati untuk mengetahui suatu yang jauh diluar jangkauan akal sebab yang diketahui akal tidak selalu membawa pada keyakinan.
3.      Al-Shalah. Pada maqam ini seorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan perasaan yang khauf dan raja’. Tujuan ibadah pada maqam ini adalah mencapai muqtah  Ilahiah pada lubuk hati sehingga menaati syari’at dengan baik.
4.      Al-Ihsan. Maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan efek ( atsar ) nama dan sifat Tuhan sehingga dalam ibadahnya merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya.
5.      Al-syahadah, pada maqam ini, seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah kepada Allah tanpa pamrih, mengingat terus-menerus dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi.
6.      Al-shiddiqiyyah, merupakan tingkat pencapaian hakikat ma’rifah yang diperoleh secara bertahap, mulai ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, haqq al-yaqin.
7.      Al-Qurbah, merupakan maqam seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.[10]

3.      Ibn Al-Farid
Ibn Al-Farid dari Cairo (1181-1235 M) menimbulkan faham Al-Haqiqah Al-Muhammadiah (konsep Muhammad). Menurut fahamnya Al-Haqiqah Al-Muhammadiah diciptakan Tuhan semenjak azal sesuai dengan bentuk-Nya sendiri. Oleh karena itu orang ingin tahu Tuhan, harus berusaha mencapai Abdul Al-Karim Al-Jili  (Wafat 1428 M) membawa filsafat Al-Insan Al-Kamil (manusia sempurna). Manusia sempurna adalah Al-Insan Al-Kamil sama dengan Al-Nur Al-Muhammadiah (cahaya Muhammad) atau Al-Haqiqah Al-Muhammadiah tersebut diatas dan merupakan cermin bagi Tuhan.[11]

C.    KAJIAN INSAN KAMIL OLEH TOKOH-TOKOH NUSANTARA
1.      Hamzah Fansuri
Dalam pemikiran Hamzah Fansuri, insan kamil merupakan puncak dari kajian tasawufnya. Pemikirannya ini tampaknya  memang banyak dipengaruhi ajaran tasawuf Ibn’Arabi. Menurutnya, wujud hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu itu ada yang merupakan kulit (mazhar, kenyataan lahir), dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi,  yang disebut Allah Ta’ala, bahwa tujuan kahir dari Tajjali Zat Yang Mutlak adalah mendemonstrasikan manusia sebagai puncak alam semesta.[12]
Konsepsi insan kamil yang dikemukakan oleh Hamzah Fansuri ini pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan al-Jilli ataupun Ibn’Arabi, yang mana insane kamil adalah penampakan citra Tuhan yang paling sempurna. Namun, kalau al-Jilli meneyebutnya proses penampakan citra Tuhan dengan tajalli, maka Hamzah menyebutnya dengan istilah ta’ayyun.[13]

2.      Nur al-Din al-Raniri
Insan kamil dalam konsepsi Syeikh Nur al-Din al-Raniri adalah manusia yang dalam dirinya telah memiliki hakikat Muhammad atau juga nur Muhammad yang merupakan makhluk yang pertama-tama yang diciptakan Allah dan juga menjadi sebab diciptakan alam ini. Syeikh Nur al-Din mengatakan bahwa nur Muhammad atau ruh Muhammad adalah hakikat pertama yang mula-mula lahir dalam ilmunya Allah, atau disebut dengan ta’ayyun awwal (kenyataan pertama) yang lahir dari tajalli dzat atas zat. Dengan kata lain, jika sebahagian-sebahagian dari alam  ini hanya merupakan sebagian dari wadah tajalli bagi sebagian nama dan sifat Allah, maka wadah kenyataan bagi tajalli nama Allah yang menghimpun segala nama dan sifat hanyalah pada insan kamil. Dengan demikian insan kamil merupakan cermin bagi Allah untuk melihat citra kesempurnaan-Nya.[14]
Selain itu insan kamil juga disebutnya sebagai khalifah Allah pada rupa dan makna.Yang dimaksud dengan dengan rupa adalah pada hakikat wujudnya. Wujud khalifah itu terjadi dari wujud Allah yang menciptakannya sebagai khalifah. Dengan kata lain, dia diciptakan dari sebab wujud-Nya.[15]

3.      Abd al-Rauf al-Sinkili
Ajaran tasawuf al-sinkili, yang berkaitan dengan konsep insan  kamil adalah martabat perwujudan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan : pertama, martabat ahadiyyah atau la-ta’ayyun, yang mana alam ketika itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada dalam ilmunya Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta hakikat Muhammadiyyah yang berpotensial bagi terciptanya alam (a’yan kharijiyyah). ketiga, martabat wahidiyyah atau ta’ayun tsani, yang disebut juga dengan a’yan tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta.[16]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari uraian Bab II dapat penulis simpulkan bahwa :
·         Insan  kamil artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi criteria-kriteria tertentu. Umat islam sepakat bahwa diantara manusia Nabi Muhammad Saw.adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya.
·         Insan kamil menurut al-Jilli merupakan Nuskha Tuhan, sehingganya sifat Allah : Hidup, Mengetahui, Tinggi, Berkehendak, Mendengar, Melihat, dan sebagainya, juga dimiliki oleh manusia (Adam). Kemudian setelah Tuhan menciptakan substansi, maka sifat-sifat-Nya kemudian dikonfrontasikan dengan sifat Adam. Ke Dia-an (huwiyyah) yang ilahi dikonfrontasikan dengan kediaan Adam, ke-Aku-an Ilahi dengan kesadaran aku Adam, dan esensi Ilahi dengan esensi Adam. Sehingganya, Adam berhadapan dengan Allah dengan segala hakikat-Nya.
·         Insan kamil dalam konsepsi Syeikh Nur al-Din al-Raniri adalah manusia yang dalam dirinya telah memiliki hakikat Muhammad atau juga nur Muhammad yang merupakan makhluk yang pertama-tama yang diciptakan Allah dan juga menjadi sebab diciptakan alam ini.


DAFTAR PUSTAKA

Maman Abd. Djaliel, Akhlak Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 1997)
Selamat, Kasmuri & Ihsan Sanusi, S.Fil.I,M.Ag, Akhlak Tasawuf (Upaya Meraih Kehalusan Budi dan Kedekatan Ilahi), (Jakarta : Kalam Mulia, 2012)




[1] Drs. Maman Abd. Djaliel, Akhlak Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), h.276
[2] DR.H. Kasmuri Selamat, MA & Ihsan Sanusi, S.Fil.I,M.Ag, Akhlak Tasawuf (Upaya Meraih Kehalusan Budi dan Kedekatan Ilahi), (Jakarta : Kalam Mulia, 2012),h.143
[3] Ibid.,h.144
[4] Ibid.,h.145
[5] Ibid.,h.147-148
[6] Ibid.,h.149
[7] Ibid.,h.153
[8] Ibid.,h.156
[9] Ibid.,h.157-158
[10] Ibid.,h.161-162
[11] Op.Cit.,h.279
[12] Op.Cit.,h.163
[13] Ibid.,h.165
[14] Ibid.,h.165-166
[16] Op.Cit.,h.168

No comments:

Post a Comment