Sunday 6 October 2013

RIBA DAN BUNGA BANK


BAB I
PENDAHULUAN

Sejak 1960 an pengharaman riba (bunga atau rente ) telah menjadi salah satu isu yang paling banyak didiskusikan dikalangan muslim. Keadilan,sosio, ekonomi salah satu cirri yang menonjol dari suatu masyarakat islam, diharapkan menjadi suatu jalan hidup ( way of live ) dan bukan sebagai fenomena yang terisolasi. Semangat ini harus menembus interaksi manusia,social,ekonomi,dan politik. Ini adalah konsekuensi dari baik persepsi bahwa bunga bank adalahriba, maupun karena sifat dominant dari bunga dari system perbankan saat ini.
Ada 2 pandangan utama mengenai riba, banyak muslim yang percaya bahwa interpretasi seperti yang terdapat dalam fiqih (hokum islam ) adalah interpretasi yang tepat dan karenanya harus diikuti. Interpretasi ini mengandaikan bahwa setiap tambahan yang ditetapkan dalam suatu transaksi pinjaman melebihi dan diatas pokok pinjaman adalah riba. Dan diantara ajaran islam yang paling untk menegakkan keadilan dan membatasi eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk upaya “memperkya diri” secara tidaksah ( aql amwal al-nas bi al-batil ). Al-Qur’an dengan tegas memerintahkan kaum muslimin untuk tidak dibenarkan (Al-Baqarah 180 dan An-Nisaa’ 29, juga lihat An-Nisaa’ 161 dan At-Taubah 34 ). Salah satu sumber penghasilanpenting yang tidak dapat dibenarkan adalah menerima keuntungan yang dalam suatu transaksi bisnis tanpa memberikan imbalan. Riba sdalam system islam merupakan sumber penghasilan yang tidak dapat dibenarkan.







BAB II
PEMBAHASAN
RIBA DAN BUNGA BANK

A.    MACAM-MACAM RIBA
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
1.      Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2.      Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3.      Berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah :
ôN¨tI÷d$# ôMt/uur
Bumi jadi subur dan gembur”. (QS: Al-Haj : 5)
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut AL-Mali ialah :
“Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’ ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.[1]
Menurut Ibn al-Jauziyah dalam kitab I'lam al-Muwaqi'in”an Rabal-A’alamin riba dibagi menjadi dua bagian, riba jali dan riba khafi. Riba jali sama dengan riba nasi’ah dan riba khafi merupakan jalan yang menyampaikan kepada riba jali.
Riba Nasi’ah adalah riba yang pembayarannya atau penukarannya berlipat gnda kaena waktunya diundurkan, edangkan riba fadhl semat-mata berlebihan pembayarannya, baik sedikit maupun banyak. Riba Jali dan riba Khafi yang dijelaskan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyah diatas juga dujelaskan pula bahwa menurut beliau riba Jali adalah riba yang nyata bahaya dan mudaratnya, sedangkan riba Nasi’ah dan riba Khafi adalah riba yang tersembunyi bahay dan mudaratnya. Inilah yang disebut riba Fadli yang besar kemungkinan membawa pada riba Nasi’ah.
Selanjutnya Ibn Qoyyim menyatakan dilarang berpisah dalam perkara tukar menukar sebelum ada timbang terima. Menurut Sulaiman Rasyid 2 orang yang bertukar barang atau jual beli berpisah sebelum timbang terima disebut riba Yad.Menurut Ibn Qoyyim perpisahan 2 orang yang melakukan jual beli sebelum serah terima mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi riba.Riba Qardhi sama dengan riba Fadli hanya riba Fadli kelebihannya terjadi ketika Qardli berkaitan dengan waktu yang diundurkan.
Menurut sebagian ulama riba dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1.      Riba Fadli yaitu nilai tambah atau kentungan yang didapat dari adanya transaksi jual beli barang yang sejenis dengan kuantitas atau jumlah yang berbeda. Contoh: saling tukar emas, gandum denan gandum, beras dengan beras yang semua itu kualitasnya sama namun kuantitasnya berbeda.
2.      Riba Qardhi yaitu nilai tambah atau keuntungan yang diambil oleh pemberi hutang kepada yang berhutang dari transaksi pinjam meminjam.Contohnya: menarik bunga tinggi dari pinjaman uang.[2]
3.      Riba Yad yaitu mengambil keuntungan atau nilai lebih leh pelaku jual beli dimana keduanya berpisah dari majlis jual beli sebelum larangan diserahterimakan.[3]
4.      Riba Nasa’ yaitu nilaitambah atau keuntungan yang diambil oleh pemberi hutang kepada penghutang karena memperhitungkan keterlambatan waktu bayar, sehingga dalam jual beli menetapkan harga dua macam harga secara bayar kontan atau dengan kredit.
Juga menurut sebagian ulama dibagi 3 macam, yaitu:[4]
1)                  Riba Fadli yaitu jual beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya.
2)                  Riba Nasa’ yaitu jual beli yang pembayarannya diakhirkan tetapi ditambahkan harganya.
3)                   Riba Yad yaitu jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu) yakni bercerai beraiantara dua orang yang akad sebelum timbang terima.

B.     BUNGA BANK KONVESIONAL DAN BANK SYARIAH
1.      Bunga Bank Konvesional
Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Bank Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Martono (2002) menjelaskan prinsip konvensional yang digunakan bank konvensional menggunakan dua metode, yaitu :
a.       Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan seperti tabungan, deposito berjangka, maupun produk pinjaman (kredit) yang diberikan berdasarkan tingkat bunga tertentu.
b.      Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak bank menggunakan atau menerapakan berbagai biaya dalam nominal atau prosentase tertentu. Sistem penetapan biaya ini disebut fee based.
c.       Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja.
d.      Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang 
e.       Sistem bunga: 
·         Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank 
·         Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank.
·         Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik.
·         Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam.
·         Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam.
·          Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.[5]


2.      Bunga Bank Konvensional Menurut Hukum Islam
(Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung, 1992)Para musyawirin masih berbeda pendapatnya tentang hukum bunga bank konvensional sebagai berikut :
a.       Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram.
b.      Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumya boleh.
c.       Ada pendapat yang mengatakan hukumnya shubhat (tidak indentik dengan haram).
Pendapat pertama dengan beberapa variasi antara lain sebagai berikut :
a.       Bunga itu itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
b.      Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara belum beroperasinya sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c.       Bunga itu soma dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rojihah).
Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi antara lain sebagai berikut:
a.       Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
b.      Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
c.       Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh.
d.      Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.[6]
3.      Bunga Bank Syariah
Perbankan syariah atau perbankan Islam (al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.[7]
1.      Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
2.      Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah (simpanan) sesuai ajaran Islam
3.      Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelola ank pada posisi yang sangat penting dan menmpatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank.
4.      Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah.
5.      Prinsip bagi hasil:
a)       Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.
b)      Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c)       Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
d)      Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil.
e)       Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.[8]
C.    BUNGA KOPERASI
Koperasi merupakan organisasi bisnis dalam bentuk syirkah (persekutuan). Untuk mengetahui status hukum syariah koperasi, pertama-tama harus dilihat dari aspek hukum syariah tentang akad dan syirkah. Secara syar’i, koperasi bukanlah syirkah al-amwâl. Koperasi bukan persekutuan atas pemilikan satu harta/properti tertentu, melainkan tiap anggota menyetor modal yang kemudian digabungkan dan diputar dalam suatu bisnis. Karena itu pendapat yang menganggap koperasi adalah boleh karena merupakansyirkah al-amwâl adalah tidak tepat.
Jika ditelaah menggunakan hukum syariah, tampak bahwa akad koperasi itu adalah batil sekaligus mengandung syarat yang fasid Alasannya: Pertama, dari aspek akad syirkah. Syirkah dalam Islam adalah akad antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan aktivitas yang bersifat finansial (aktivitas bisnis) dengan maksud mendapat laba. Aktivitas syirkah itu harus berlangsung/berasal dari syarik (mitra). Karena itu, di dalam akad syirkahitu harus ada unsur badan, yaitu ada yang berposisi sebagai pengelola. Adanya unsur badan ini menentukan ada tidaknya syirkah. Hal ini tidak terpenuhi di dalam akad koperasi. Sebab, yang ada adalah kesepakatan untuk menyetor modal tertentu dengan tujuan untuk mengadakan pengurus yang menjalankan aktivitas koperasi. Kesepakatan syirkah itu hanya terjadi pada harta mereka, sama sekali tidak terjadi pada badan mereka. Jadi, koperasi itu kosong dari unsur badan sehingga secara syar’i,syirkah-nya tidak terbentuk atau tidak ada.
Kedua, Secara syar’i, aktivitas bisnis itu merupakan obyek akad syirkah dan itu merupakan rukun akad. Di dalam akad Koperasi yang terjadi hanya kesepakatan untuk menyetor modal, tidak terjadi kesepakatan untuk melakukan aktivitas bisnis. Secara syar’i akad Koperasi itu kosong dari obyek akad, artinya tidak memenuhi rukun akad syirkah yang syar’i.Karena itu akad Koperasi adalah batil.
Ketiga, dalam pembentukan koperasi yang ada adalah negosiasi atas syarat-syarat (AD). Lalu siapa yang setuju secara sukarela boleh membubuhkan persetujuannya dan dengan itu ia menjadi anggota dan pendiri. Saat semua pendiri sudah membubuhkan persetujuannya, berdirilah koperasi itu. Jadi, semuanya hanya menyatakan persetujuan atau qabul, tidak ada yang menyatakan ijab. Keikutsertaan tiap orang itu semata didasarkan pada kehendak sepihak dari masing-masing. Anggota lainnya tidak ditanya apakah menyetujuinya atau tidak. Kalaupun sebagian tidak setuju seseorang menjadi anggota, maka hal itu tidak berpengaruh dan orang itu tetap menjadi anggota selama ia secara sukarela membubuhkan persetujuannya atas AD itu. Jadi, di situ tidak ada ijab-qabul, sebab yang ada hanya qabul saja. Padahal salah satu rukun akad yang syar’i itu harus ada ijab-qabul. Itu artinya harus ada kehendak bersama (irâdah musytarakah), bukan kehendak sepihak (irâdah munfaridah). Dengan begitu maka akad koperasi itu dalam pandangan Islam adalah batil.
Keempat, secara syar’i, andil seorang syarîk (mitra) itu berupa harta dan/atau tenaga. Karena itu, pembagian laba harus berdasarkan modal atau tenaga itu. Dalam pandangan Islam, setiap syarat yang menyalahi ketentuan syariah, termasuk menyalahi konsekuensi akad, adalah syarat yang fasid. Dalam koperasi, syarat pembagian laba adalah menurut jasa anggota baik dalam bentuk produksi, penjualan, pembelian, dsb; bukan berdasarkan modal atau kerja. Jelas ini menyalahi konsekuensi syar’i akadsyirkah itu. Hal itu merupakan syarat yang fasid sehingga tidak boleh.
Dengan demikian koperasi dalam pandangan Islam adalah batil dansyirkah-nya dianggap tidak pernah terbentuk atau tidak pernah ada.Semua tasharruf koperasi itu adalah batil. Semua harta yang diperoleh melalui koperasi itu juga harta batil yang diperoleh dengan tasharruf yang batil sehingga tidak halal untuk dimiliki.
Semua itu jika: Pertama, koperasi itu adalah koperasi yang hakiki seperti yang dideskripsikan di atas. Jika merupakan syirkah yang dibentuk sesuai dengan hukum syirkah dalamIslambaik InanAbdanMudharabahWujuhatau Mufawadhah lalu dinamai koperasi atau didaftarkan sebagai badan hukum koperasi, maka tasharruf-nya adalah sah dan bertransaksi dengannya adalah boleh.
Kedua, jika koperasi yang hakiki itu para pendirinya adalah Muslim atau mayoritasnya Muslim. Sebab, status batil dan haram itu mengikat bagi Muslim dan tidak mengikat bagi non-Muslim. Artinya, jika koperasi itu para pendirinya non-Muslim atau mayoritasnya non-Muslim, maka bertransaksi dengan koperasi itu adalah boleh.
Karena batil maka syirkah seperti ini tidak bisa diperbaiki, tidak boleh dilanjutkan, dan harus dihentikan. Untuk melanjutkan bisnis, maka harus dibentuk syirkah yang sama sekali baru, yaitu dengan melakukan akad pembentukan syirkah baru yang memenuhi hukum tentang syirkah dalam Islam. (www.konsultasi.wordpress.com)[9]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian BAB II dapat penulis simpulkan bahwa :
·         riba menurut AL-Mali ialah :“Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’ ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”
·         Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Bank Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
·         Perbankan syariah atau perbankan Islam (al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).
·         Koperasi merupakan organisasi bisnis dalam bentuk syirkah (persekutuan). Untuk mengetahui status hukum syariah koperasi, pertama-tama harus dilihat dari aspek hukum syariah tentang akad dan syirkah. Secara syar’i, koperasi bukanlah syirkah al-amwâl. Koperasi bukan persekutuan atas pemilikan satu harta/properti tertentu, melainkan tiap anggota menyetor modal yang kemudian digabungkan dan diputar dalam suatu bisnis. Karena itu pendapat yang menganggap koperasi adalah boleh karena merupakansyirkah al-amwâl adalah tidak tepat.


DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi , Fiqih Muamalah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2005)
Rochim, Abd, Fiqih,(CV GANI & SDN : 2004)
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Attahiriyah, (Jakarta : 1976)


http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah/ Diakses Pada Tanggal 10 Maret 2013




[1] Dr.H.Hendi Suhendi,M.Si, Fiqih Muamalah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2005),h.57-58
[2] Ibid.,h.161-162
[3] Abd Rochim, Fiqih,(CV GANI & SDN : 2004) h.108
[4] Sulaiman Rasyid, dalam Fiqh Islam, Attahiriyah, (Jakarta : 1976)h.279
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah/ Diakses Pada Tanggal 10 Maret 2013

No comments:

Post a Comment