Sunday 6 October 2013

METODE STUDI HADIS


BAB I
PENDAHULUAN

Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Kajian terhadap hadits sangatlah menarik karena keberadaanya yang mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupa. Penelitian terhadap hadits baik secara keotentikannya ,kandungan ma’na dan ajaran  yang diajarkanya, macam-macam tingkatan dan fungsi dalam menjelaskan kandungan yang ada pada al-Qur’an banyak dilakukan oleh para ahli. Hasil dari kajian dan penelitian yang dilakukannya kemudian di publikasikan diberbagai kalangan akademis diperguruan tinggi, madrsah maupun masyarakat umum melalui berbagai karya-karya yang telah dirumuskanya. Hasil dari kajian-kajian tersebut bisa dijadikan sebagai suatu kajian Islam dalam study hadits yang kita perlukan.
Penerimaan hadis dari nabi Muhammmad banyak mengandalkan hafalan para sahabat, hanya beberapa sahabat saja yang menulisnya. Pada awalnya penulisan tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan individunya. Oleh karena itu hadis-hadis yang ada dari para sahabat kemudian diterima pra tabi’in ditemukan dengan redaksi dengan lafadz yang asli dari nabi dan ada pula yang sesuai dengan makna dan maksudnya saja.[1]





BAB II
PEMBAHASAN
METODE STUDI HADIS
A.    PENGERTIAN HADIS
Kata hadis, berasal dari bahasa Arab al-hadits, jamaknya adalah al-ahadits. Dari segi literal kata tersebut memiliki banyak arti, diantaranya: al jaded (yang baru), lawan dari qadim (yang lama) dan al akhbar (kabar atau berita). Dari segi istilah, hadis mempunyai pengertian yang berbea-beda, sesuai dengan latar belakang dan kajian yang ditekuni oleh ulama tersebut. Namun pada dasarnya adalah sama, yaitu sesuatu yang datang dari Rasulullah saw.
Para ulama hadis memberikan pengertian hadis sama dengan sunnah. Dengan kata lain bahwa hadis adalah sinonim dari sunnah, yaitu segala apa yang datang dari Rasul saw. sebelum dan sesudah diutus jadi rasul. Tapi bila kata hadis digunakan secara mutlak yang berbeda dari yang biasa diriwayatkan dari Rasul saw setelah diangkat jadi Rasul, baik berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya dan jika pengertian ini yang digunakan, maka sunnah pengertiannya lebih luas dari pada hadits.[2]
B.     SEJARAH DAN KODIFIKASI HADIS
Penulisan resmi hadis dalam kitab-kitab hadis, seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayyah, yaitu pada zaman Umar bin Abd Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd Aziz kepada para pakar hadis untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadis yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi. Namun, untuk melihat sejarah perkembangan hadis dari waktu ke waktu, akan dipaparkan mulai zaman Nabi sampai tadwin. Hal ini dianggap perlu sebagai upaya untuk melihat perjalanan hadis secara periodik.
Para ulama hadis tidak sependapat dalam menentukan jumlah periodisasi hadis. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode. Berikut ini adalah periodisasi hadis secara garis besar.
Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut masa wahyu dan pembentukan (‘ashr al-wahy wa al-taqwin). Pada periode ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadis, karena disamping adanya rasa takut bercampur antara hadis dan al-Qur’an, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada al-Qur’an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan. Pada masa ini, para sahabat menerima hadis dari Nabi melalui dua cara: langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang tidak langsung di antaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari daerah yang datang kepada Nabi. Ciri utama periode ini ialah aktifnya para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya secara sendiri-sendiri. Di samping itu, sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan hafalan.[3] Para sahabat yang banyak menerima hadis ialah khulaf rasyidin, Abd Allah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu Salamah.
Periode kedua adalah zaman kuhulafa rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat (zaman al-tastabut wa al-iklal min al-riwayah), usaha-usaha para sahabat dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik uamt Islam secara internal sudah mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Mereka melakukan periwayatan hadis dengan dua cara: lafzdi dan ma’nawi. Periwatan adalah redaksi hadis  yang diriwayatkan betul-betul sama dengan yang disabdakan oleh Nabi. Adapun periwatan dengan ma’nawi ialah redaksi hadis yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan Nabi, tapi substansinya sama.
Periode ketiga adalah penyebaran hadis ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung papa masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Pada masa ini, wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkhand, Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para pemimpin atau menjadi guru pengajar di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis pada masa ini ialah Sa’id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha’i di Kufah, Muhammad bin Sirin di Bashrah dan Wahab bin Munabih di Yaman.
Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi (‘ahsr al-kitabat wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd. Aziz (717-720M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayyah kedelapan yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadis. Bunyi instruksi itu lengkapnya adalah seperti dikutip oleh Muhammad Ajaj al-Khatib:[4]
“Perhatikanlah atau periksalah hadis-hadis Rasulullah saw, kemudian tulislah! Aku khawatir lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama; dan janganlah engkau terima kecuali hadis Rasulullah saw.”
Latarbelakang Umar bin Abd. Aziz menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadis adalah bercampurbaurnya hadis sahih dengan hadis palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pentadwinan berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadis, seperti Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan Abd. Al-Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah.
Di samping lahirnya para ulama hadis, dihasilkan pula sejumlah kitab-kitab karya para ulama, baik berupa ijma’i, al-Musnaf, maupun al-Musnad. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi’i, al-Musnaf karya al-Auzi, dan al-Muawaththa’ karya Imam Malik yang disusun atas perintah khalifah Abu Ja’far al-Mansur.
Kitab-kitab hadis terbitan periode ini belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadis Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi’in, atau hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’ di samping juga hadis palsu.
Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir.  Pada masa ini para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadis-hadis, yaitu dengan cara memisahkan hadis marfu’ dari hadis maqthu’.[5] Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadis yang sudah terseleksi, seperti kitab Sahih, Kitab Sunan, dan Kitab Musnad. Kitab Sahih adalah kitab atau buku hadis yang hanya memuat hadis-hadis sahih dan hadis-hadis yang tidak terlalu lemah (dha’if). Adapun kitab Musnad adalah kitab hadis yang mengoleksi segala macam hadis tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan tidaknya), di samping juga tidak menerangkan derajat hadis.
Pada periode ini tersusun enam kitab hadis terkenal yang bisa disebut Kutub al-Sitah, yaitu:
  1. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H)
  2. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim (204-262 H)
  3. Al-Sunan Abu Dawud Karya Abu Dawud (202-275 H)
  4. Al-Sunan Karya al-Tirmidzi (200-279 H)
  5. Al-Sunan Karya al-Nasa’i (215-302 H)
  6. Al-Sunan Karya Ibnu Majah (207-273 H)
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan (ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadis pada periode keenam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama periode kelima. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadis yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami’. Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadis-hadis tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadis sebelumnya. Kitab mustakhrij ialah kitan hadis yang metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadis tersebut. Kitab athraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian matas hadis, tetapi sanadnya ditulis lengkap.[6] Kitab Mustadrik ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang memenuhi syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari keduanya. Kitab Jami’ ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Periode ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (‘ahl al-syarh wa al-jam’u wa al-takhrij wa al-hadits). Periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadis-hadis. Ulama para periode ini mulai mensistemasi hadis-hadis menurut kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustakhrij dengan cara membagi-bagi hadis menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik pembicaraan.[7]

C.    KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS
Umat islam sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam kedua setelah al-qur'an. kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam al-qur’an maupun dalam hadis.[8]
Keberadaan hadist sebagai sumber hukum ke dua setelah Al-qur’an, selain ketetapan Allah yang dipahami dari ayat-ayatnya secara tersirat juga merupakan ijma’ (konsensus) seperti terlihat dalam  perilaku para sahabat. Misalnya: Penjelasan Utsman bin Affan mengenai etika makan dan cara duduk dalam shalat, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Begitu juga, Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad karena mengikuti jejak Rasul. Ketika berhadapan dengan Hajar Aswad, ia  berkata, “Saya tahu engkau adalah batu. Jika tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan mencium mu.” Janji Abu Bakar untuk tidak meninggalkan atau melanggar perintah Rasul yang ia ikrarkan ketika disumpah (Bai’ah) menjadi khalifah.
Menurut T.M Hasybi al-Shiddieqi sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari Ad (1994:111 -128) dan Mundzir Suparta (1996:49-56), dan Faturrahman (1974:65) fungsi hadis terhadap Al-Qur’an itu sebagai penjelas (al-bayan).[9]

D.    MODEL-MODEL PENELITIAN HADIS
1.       Model H.M.Quraisy Shihab
Penelitian yang di lakukan oleh Qurasy syihab mengenai hadis lebih sedikit dibandingkan penelitiannya terhadap Al Quran. Beliau hanya meneliti dua sisi dari hadis tersebut, yakni mengenai hubungan hadis dan Al quran dan posisi sunnah dalam tafsir.
Hasil penelitian Quraish Shihab mengenai fungsi hadis terhadap Al Quran menekankan bahwa hadis atau sunnah berfungsi menjelaskan maksud dari firman-firman Allah. Seperti dalam surat an Nahl ayat 44 Allah berfrman :
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” ( Q. S An Nahl :44)
Pandangan ulama terhadap bentuk dan sifat serta fungsi sunnah sangat beragam, ada yang di perselisihkan dan ada pula yang tidak. Adapun pendapat yang tidak di perselisihkan menengenai fungsi sunnah terhadap Al quran seperti yang di ungkapkan Abu Halim adalah :
Pertama Fungsi sunnah yaitu sekedar utuk menguatkan apa yang ada dalam Al quran. Oleh sebab itu sunnah menjadi sumber hukum yang kedua setelah Al quran.
Sedangkan yang kedua fungsi sunnah adalah bukan hanya sekedar untuk memperkuat Al quran, melainkan sunnah berfungsi untuk memperluas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat Al quran.
Selain itu hadis juga berfungsi sebagai penetap hukum  yang tidak di dapatkan dalam Al quran. Sebagai contohnya yaitu : “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan “ammah ( saudari bapak ) nya dan seorang wanita dengan khalah ( saudari ibu ) nya.” ( H.R Bukhari ). Dalam hadis lain sesunguhnya Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana Allah telah mengharamkan karena senasan ( H.R. Bukhari dan Muslim ).

2.       Model Mustafa Al-Siba’iy
Mustafa Al-Siba’iy dikenal sebagai tokoh intelektual muslim dari mesir, selain banyak meneliti mengenai masalah-masalah sosial dan ekonomi beliau juga menulis buku-buku yang mengkaji tentang islam.
Dalam buku-bukunya itu beliau mengkaji dengan menggunakan pendekatan historis dan di sajikan secara deskriptis analitis. Yakni dalam sistem penyajian menggunakan pendekatan urutan waktu dalam sejarah. Ia berupaya mendaptkan bahan-bahan penelitian sebanyak-banyaknya dari berbagai leteratur hadis sepanjang perjalanan kurun waktu.
Hasil penelitian Mustafa Al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses dan tersebarnya hadis dimulai dari masa rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadis dan usaha para lama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah.
Selanjutnya beliau juga menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pandangan kaum Khawarij. Syi’ah, Mu’tazilah dan mutakllimin, para penulis moderen dan para umat muslim umumny. Dilanjutkan dengan laporan tentang sejumlah kelompok dimasa sekarang yang mengingkari kehujjahan Al sunnah disertai pembelaan.

3.       Model Muhammad Al- Ghazali
Muhammad Al Ghazali menyajikan hasil penelitiannya tentang hadis dalm buku al-sunnah al-Nabawiyah baina ahl Al Fiqh wa ahl al hadits. Dilihat dari segi kandungannya yang terdapat dalam buku tersebut, nampak bahwa penelitian hadis yang dilakukan Muhammad al Ghazali ini termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang uncul dimasyarakat yang untuk kemudian di berikan status hukumnya dengan berpijak pada kontek hadis tersebut. Dengan kata lain beliau terlebih dahulu memahami hadis yang di telitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan masalah aktual yang muncul di masyarakat.

4.       Model Zain Al-Din ‘Abdl Ar Rahim bin Al husain Al iraqiy
Beliau hidup tahun 725-806 terolong ulama generasi pertama yang banyak melakukan penelitian hadis. Bukunya yang berjudul al Taqyid wa al Idlah Syarh muqaddiman ibn al Shalah adalah termasuk kitab ilmu hadis yang tertua yang banyak menjadi rujukan bagi penulis ilmu hadis generasi berikutnya.
Beliau nampaknya mencoba membangun ilmu hadis dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta berbagai pendapat para ulama yang di jumpai dalam kitab tersebut, dengan demikian, penelitiannya bersifat penelitia awal, yakni penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan yang digunakan untuk membangun suatu ilmu. Buku inilah yang pertama kali mengemukakan berbagai macam hadis yang di dasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu hadis yang tergolong sahih, hasan dan dha’if. Kemudian dilihat pula dari keadaan tersambung atau terputusnya sanad yang di baginya menjadi hadis musnad, muttasil, marfu’, mauquf, mursal, al munqati. Selanjutnya dilihat pula dari eadaan kualitas matannya.

5.       Model penelitian lainnya
Selanjutnya, terdapat pula model penelitian hadis yang di arahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja misalnya Rifa’ah Fauzi Abd Muthalib pada tahun 1981, meneliti perkembangan sunnah pada tahun ke dua hijriah. Selanjutnya Mahmud Abu Rayyah melalui telaah kritis terhadap hadis Nabi SAW. Dan masih banyak ulama-Ulama lain yang meneliti hadis dengan mengrahkan pada aspek tertentu saja.
Dalam pada itu ada pula yang menyusun buku-buku hadis dengan mengambil bahan-bahan pada penelitian tersebut di atas. Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadis tumbuh menjadi salah satu di siplin ilmu keislaman. Penelitian hadis masih tampak begitu luas terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadis yang di pakai dalam berbagai kitabmisalnya belum banyak di lakukan, demikian pula penelitian hadis yang ada hubungannya dengan masalah atual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendedkatan dalam memahami hadis juga belum banyak di gunakan. Misalnya pendekatan sosiologis, pedagogis, antropologis, ekonomi, politik, filosofis, tampaknya belum banyak digunakan oleh para peneliti hadis sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis umumnya masih bersifat parsial.[10]

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari uraian Bab II dapat penulis simpulkan bahwa :
·         Kata hadis, berasal dari bahasa Arab al-hadits, jamaknya adalah al-ahadits. Dari segi literal kata tersebut memiliki banyak arti, diantaranya: al jaded (yang baru), lawan dari qadim (yang lama) dan al akhbar (kabar atau berita). Dari segi istilah, hadis mempunyai pengertian yang berbea-beda, sesuai dengan latar belakang dan kajian yang ditekuni oleh ulama tersebut. Namun pada dasarnya adalah sama, yaitu sesuatu yang datang dari Rasulullah saw.
·         Penulisan resmi hadis dalam kitab-kitab hadis, seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayyah, yaitu pada zaman Umar bin Abd Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd Aziz kepada para pakar hadis untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadis yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi.
·         Umat islam sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam kedua setelah al-qur'an. kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam al-qur’an maupun dalam hadis
B.     SARAN
Demikianlah makalah ini penulis tulis. Diharapkan pada semua rekan-rekan dapat belajar dengan giat agar tujuan pendidikan dapat tercapai dan diharapkan pada pendidik agar mampu memberikan pembelajaran seiring dengan pemenuhan kebutuhan peserta didik sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA


Zainimal, Ulumul Hadis, Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang, 2001
Abdul Hakim, Atang  & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya)



[2] Drs.Zainimal, M.Ag. Ulumul Hadis, Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang, 2001.h.1
[3] Drs. Atang Abdul Hakim, MA. & Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya).h.88-89
[4] Ibid.h.90
[5] Ibid.h.91
[6] Ibid.h.92
[7] Ibid.h.93
[8] Ibid.h.85
[9] Ibid.h.87

No comments:

Post a Comment