Wednesday 9 October 2013

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN


Cikal bakal keberadaan Islam di nusantara telah dirintis pada abad ke-1 hingga ke-5 H atau ke-7 hingga ke-8 M. Pada periode ini para pedagang dan mubalig muslim, membentuk komunitas islam. Para mubalig mengajar dan memperkenalkan islam kepada penduduk setempat antara lain:
1.      Islam mengajarkan sesama manusia untuk saling menghormati dan tolong-menolong.
2.      Islam mengajarkan bahwa derajat manusia dihadapan Allah SWT adalah sama, kecuali takwanya.
3.      Islam mengajarkan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih, dan Penyayang. Dan melarang manusia saling berselisih, bermusuhan, merusak dan saling dengki.
4.      Islam mengajarkan agar manusia menyembah hanya kepada Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya serta senantiasa berbuat baik terhadap sesame manusia tanpa pilih kasih.
Agama Islam ini sangat menarik perhatian masyarakat Indonesia dengan pesat karena penuh dengan hikmah dan kedamaian. Setiap perilaku para pedagang dan mubalig yang ramah, jujur, dan dermawan menjadikan penduduk setempat merasa simpati dan tidak keberatan anak-anak mereka menikah dengan para saudagar tersebut. Dajwah dan pengaruh islam makin luas, baik di kalangan masyarakat biasa maupun bangsawan dan penguasa.





BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM
A.    PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN SAMUDERA PASAI
1.      Sejarah Munculnya Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudra Pasai, merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Ia berdiri pada sekitar awal abad ke-13 M dengan rajanya yang pertama Al Malik Ibrahim bin Mahdum, yang kedua bernama Al Malik Al Shaleh dan yang terakhir Al Malik Sabar Syah (tahun 1444 M / abad ke-15 H). kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara. Untuk waktu yang lama, Pasai dianggap oleh kerajaan Islan di Nusantara sebagai pusat Islam.
Kemunculan Samudra Pasai sebagai Kerajaan Islam diperkirakan dimulai dari awal atau pertengahan abad ke-13, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7 M. dugaan atas berdirinya Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 ini didukung oleh data-data sejarah yang kongkret, antara lain adalah nisan kubur dari Samudra Pasai di Gampong Samudra yang memuat nama Sultan Malik Al Saleh, yang berangka tahun 696 H / 1927 M.[1]
Pendapat bahwa Islam sudah berkenbang disana sejak awal abad ke -13 M, didukung oleh berita cina dan pendapat Ibnu Btutah, seorang pengembara terkenal asal Maroko, yang pada pertengahan abad ke -14 M (tahun 746 H / 1345 M) mengunjungi Samudra Pasai dalam perjalananya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudra Pasai diperintah oleh Sultan Malik Al Zahir, putra Sultan Malik Al Shaleh. Malik Al Zahir dengan hangat menghibur Ibnu Batutah dan rombongan kawan-kawannya didalam kota berdinding kayu, yang terletak beberapa mil disebelah hulu sungai dari pemukiman pelabuhan. Menurut sumber-sumber Cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan Samudra mengirim kepada Raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama muslim yakni Husain dan Sulaiman.[2]
Setelah Sultan Al Malik Al Shaleh mangkat (698 / 1297), digantikan oleh putranya bernama Al Malik Al Zahir I yang memerintah tahun 1297-1326. raja ketiga adalah Al Malik Al Zahir II yang memerintah dari tahun 1326-1345 M.[3]
Kerajaan Samudra pasai mengalami kejayaannya pada masa pemerintahan Al Malik Al Zahir II. Setelah beliau wafat digantikan oleh putranya yang bernama Mansur Malik Al Zahir dan seterusnya secara turun menurun.
Kerajaan Samudra Pasai adalah sebuah kerajaan maritime. Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritime ini tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran.
Kerajaan Islam Samudra Pasai berlangsung sekitar tiga abad (244 tahun), yakni dari tahun 1280-an sampai dengan 1524 M. Secara berturut-turut, kerajaan Samudra Pasai diperintah oleh raja-raja / siltan dengan nama-nama sebagai berikut: Sultan Malik Al Shaleh yang memerintah setelah beragama Islam sekitar tahun 1280-1297 M, Muhammad Malik Al Zahir (1297-1326 M), Muhammad Malik Al Zahir (1326-1345 M), Mansur Malik Al Zhir (1345-1346), Ahmad Malik Al Zahir (1346-1383 M), Zaenal Abidin Malik Al Zahir (1383-1405 M), Nahrasyah (1402-? M), Abu Zaid Malik Al Zahir (?-1455 M), Muhammad Malik Al Zahir (1455-1477 M), Zaenal Abidin (1477-1500 M), Abdulah Malik al Zahir (1501-1513 M), dan Zaenal Abidin (1513-1524 M).     



2.      Pola Pendidikan Islam Masa Kerajaan Samudera Pasai
a.       Metode awal penyiaran islam
Menurut Muhammad Yunus, rupanya oleh pedagang-pedagang Muslim dahulu dipegang teguh ajaran Islam itu, diturut dan diamalkan. Sambil berdagang, mereka menyiarkan agama Islam kepada orang-orang disekelilingnya. Dimana ada kesempatan, mereka berikan pendidikan dan ajaran agama Islam. Bukan saja dengan perkataan, melainkan juga dengan perbuatan.
            Didikan dan ajaran Islam mereka berikan dengan perbuatan, dengan contoh dan suri tauladan. Mereka berlaku sopan santun, ramah tamah, tulus ikhlas, amanah dan menjaga kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji, serta menghormati adat istiadat anak negeri. Pendeknya, mereka berbudi pekerti yang tinggi dan berakhlak mulia. Semua itu berdasarkan cinta dan taat kepada Allah sesuai dengan didikan dan ajaran Islam.
            Proses penyiaran pendidika Islam ini telah berlangsung lama semenjak abad ke-1 H / ke 7 M, sejalan dengan awal masuknya agama Islam, sehingga muncullah komunitas muslim, yang merupakan perbauran (asimilasi) antara masyarakat pendatang (muslim) yang notabennya adalah para pedagang sekaligus da’i dengan masyarakat local (Samudra Pasai).
            Namun, tampaknya proses penyiaran (pendidikan) Islam tersebut kurang berlaku efektif. Terbukti hampir 5 abad lamanya proses penyiaran pendidikan itu berlangsung, --- antara abad ke-7 hingga awal abad ke-13, tetapi belum menuai hasil yang prestisius dan menggembirakan.
            Atas dasar fakta tersebut diatas, diubahlah metode penyiaran pendidikan tersebut, yakni dengan mengadakan pendekatan secara langsung dengan pimpinan masyarakat / atau kepala suku yang dilakukan oleh Syekh Ismail seorang da’i yang diutus langsung oleh seorang Syarif penguasa makalah. Melalui Merah Silu --- yang kenudian setelah beragama Islan bernama Sultan Malik Al Saleh --- inilah Islam mulai berkembang pesat di Samudra Pasai.
b.      Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan yang berlaku pada masa Kerajaan Samudra tentu tidak seperti zaman sekarang ini. Sistem pendidikan yang berlaku pada saat itu lebih bersifat informal, yang berbentuk majlis taklim dan halaqah. Namun demikian, komponen-komponen pendidikan yang ada pada massa Samudra Pasai pada waktu itu, tidak jauh berbeda dengan komponen-komponen pendidikan yang ada sekarang ini. Hanya saja bentuk dan jenisnya masih sederhana. Namun demikian, secara substansial proses pendidikan dapat berjalan dengan sangat baik. Komponen-komponen pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Pendidik dan peserta didik
Pada saat itu yang menjadi pendidik atau guru adalah mereka para saudagar yang sekaliguus merangkap sebagai da’i yang berasal dari Gujarat dan Timur Tengah. Mereka antara lain adalah Syekh Ismail dan Syekh Sayid Abdul Aziz. Demikian pula para Silltan Kerajaan Samuadra Pasai. Mereka ikut mengajarkan dan mennyebarkakn ajaran Islam kepada segenap rakyatnya.
            Adapun peserta didik pada saat itu adalah tidak terbatas usia, melainkan dari segala usia, yakni mulai dari anak-anak hingga dewasa (usia lanjut). Tidak terbatas pada kalangan tertentu, melainlkan dari berbagai kalangan, mulai dari rakyat biasa / jelata sampai dengan sultan atau raja.
2.      Materi Pendidikan
Materi pendidikan Islam yang pertama kali diberikan pada peserta didik adalah “Dua Kalimah Syahadat”. Ucaapan itu dilakukan meskipun dengan bahasa sendiri. Setelah mereka mengucapkan dua kalimah sahadat yang berarti telah masuk Islam barulah mereka diberikan pelajaran selanjutnnya, yaitu menbaca Al-Qur’an, cara melaksanakan shalat dan pada tingkat yang lebih tinggi. Materi yang diajarkan yaitu, pengajian kitab-kitab fiqh yang bermadzhab imam Syafi’i, seperti: takrb, sulam taufiq, bahkan terdapat pula pengajian yang dilakukan secara berkala pada setiap selesain shalat jum’at berupa pengajian kitab-kitab yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu kitab Ihya Ulumuddin, Al Um, dan lain-lain. Materi Al-Qur’an yang diajarkan untuk tingkatan yang sudah bisa membaca huruf Arab adalah berupa pengajian Tafsir Jalalain. Selain materi tersebut, sudah banrang tentu para Syekh mengajarkan tentang Akidah dan Akhlaq.
3.      Tujuan Pendidikan
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada saat itu adalah belajar untuk menuntut ilmu sehingga dapat memahami, menguasai, dan mengamalkan ajaran islam yang sudah diperoleh dari sang guru. Lebih dari itu, mengembangkan ajaran Islam tanpa pamrih. dengan kata lain, tidak berorientasi pada materi, melainkan berorientasi semata-mata menuntut ilmu karena Allah.
4.      Biaya Pendidikan
Mereka belajar dan mengajar semataimaata akhlas karna ingin mendapat ridha dari Allah swt. Mereka belajar untuk menuntut ilmu. Mereka mengajar untuk meningkatkan dan mengembangkan kalimat Allah. Oleh karna itu, tidak mengharapkan imbalan berupa materi. Kendatipun demikian, masyarakat tentu memahami dan mengerti akan kebutuhan-kebutuhan para Syekh yyang notabennya adalah manusia yang tetap membutuhkan makan dan minum serta tempat untuk berteduh. Oleeh karna itu, secara sukarela masyarakat tentu mengeluarkan berbagai macam hadiah atau pemberian kepada para guru tersebut, terutama dalam bentuk hasil pertanian, jamuan-jamuan dan sebagainya. Yang palling penting lagi adalah bahwa pendidikan pada saat itu dibiayai oleh negara / kerajaan, sehingga masyarakat secara resmi tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar guru.
5.      Waktu Dan Tempat Belajar
a.       Tempat belajar
Secara umum, pengajar-pengajar Islam dahulu malaksanakan penyaiaran Islam dimana saja nereka berada, dipinggir kali sambil menanti perahu pengangkut barang, di perjamuan di waktu kenduri, dipa dang rumput tempat gembala ternak, di tempat penimbunan barang dagangan, di pasar-pasar tempat berjual beli, dan lain-lain. Disitulah bmereka memberikan didikan dan ajaran Islam dan disanalah orang-orang menerima didikan dan ajaran Islam. Semuanya dilakukan dengan perkataan secara mudah, snehingga mudah pula orang memperoleh dididkan dan ajaran Islam. Adapun secara khusus tempat-tempat pembelajaran dilakukan dirumah-rumah, masjid, surau, rangkang, dan pendopo istana.
b.      Waktu belajar
            Waktu yang digunakan untuk mempelajari atau mengerjakan pendidikan sesungguhnya tidak mengikat. Karna pendidikan dapat berjalan kapan dan dimana saja. Pendidikan dapat berlangsung pagi hari, siang hari, sore hari atau bahkan malam hari. Namun secara khusus terutama yang terjadi dikalangan kesultanan, waktu-waktu belajar dapat dilakukan sebagai berikuut:
1.            Siang hari khususnya setelah shalat jum’at
2.            Sore hari (ba’da ashar)
3.            Malam haru (ba’da magrub / isya) Adapun metode yang digunakan, khususnya dikalangan istana adalah diskusi.[4]

B.     PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN DEMAK
1.      Sejarah Munculnya Kerajaan Demak
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan ini terletak di Jawa bagian tengah, tepatnya di Kota Demak sekarang, propinsi Jawa Tengah. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah sekitar tahun 1500 Masehi. Wilayah Kerajaan Demak kemudian berkembang menjadi kerajaan besar karena letaknya yang sangat strategis, yaitu di dekat pelabuhan dan menghubungkan perdagangan di wilayah timur Nusantara (Maluku dan Makassar) dengan wilayah barat (Malaka).
Selain itu, mundurnya kejayaan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur juga mendukung kemajuan perkembangan Kerajaan Demak. Kerajaan Demak merupakan salah satu pusat perkembangan agama Islam di Indonesia, oleh karena itu wilayah ini banyak dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat untuk belajar agama. Kegiatan ekonomi Kerajaan Demak turut maju berkat mobilitas penduduk antar pulau.
Penyebar agama Islam sekaligus pendukung berdirinya Kerajaan Demak adalah para wali yang dikenal dengan sebutan Wali Songo. Dalam menyebarkan agama Islam tersebut para wali ini sering menggunakan saran kesenian dalam media dakwahnya, sehingga pada jaman Kerajaan Demak kesenian wayang berkembang dengan sangat pesat. Salah satu kesenian tersebut adalah wayang kulit. Kesenian Jawa dipadukan dengan budaya Arab sehingga menghasilkan seni budaya Demak yang unik. Memadukan Budaya Jawa Dan Islam.[5]
Kehidupan sosial masyarakat Demak telah diatur dengan hukum-hukum yang berlaku dalam ajaran agama Islam. Meski demikian, peraturan tersebut tidak begitu saja meninggalkan tradisi lama sehingga muncul sistem kehidupan sosial masyarakat yang telah mendapat pengaruh agama Islam. Karakter agama Islam yang demokratis dan fleksibel memberikan kesempatan bagi rakyat Demak untuk mengembangkan pekerjaan mereka.
Pada awalnya, Kerajaan Demak merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit karena Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak, adalah putra dari Raja Brawijaya V dari Majapahit. Setelah Raden Patah wafat, di digantikan oleh Pati Unus yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. Pengganti Pati Unus adalah Sultan Trenggono. Silsilah penguasa Kerajaan Demak bisa kita pelajari melalui makam keluarga kerajaan yang berada di kompleks Masjid Demak.
Sultan Trenggono adalah raja terbesar yang pernah memerintah Kerajaan Demak. Pada masa pemerintahannya, wilayah Demak meliputi seluruh Pulau Jawa, Sumatera bagian Selatan, Kalimantan (Kotawaringin dan Banjar) serta Selat Malaka. Setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun 1546 dalam suatu pertempuran di wilayah Pasuruan, Kerajaan Demak mengalami kemunduran. Akhirnya, menantu Sultan Trenggono yang bernama Joko Tingkir berhasil menduduki tahta kerajaan dan memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang.

2.      Pola Pendidikan Islam Masa Kerajaan Demak
a.       Awal penyebaran pendidikan Islam
Pada masa awal penyebaran Islam di wilayah kekuasaan Demak yaitu di akhir abad ke- 15, kondisi masyarakat Jawa pada umumnya sedang dalam keadaan buruk seirirng dengan melemahnya situsi-politikdan ekonomi kerajaan-kerajaan yang berkuasa saat itu. Kekuasaan Majapahit yang menguasai Jawa sudah diambang kehancuran ketika penyebaran Islam mulai tumbuh. Kehidupan masyarakat juga sangat terpengaruh oleh imbas krisis ekonomi yang dialami kerajaan.
Akhir abad ke-15 memang disebut-sebut sebagai masa akhir kekuasaan Majapahit. Pada masa sulit ini, pengaruh kerajaan sudah melemah. Pelaksanaan ritual keagamaan (Hindu) pun sudah semakin jarang dilaksanakan oleh rakyat biasa. Seraya dengan ini, para pedagang Islam dan guru-guru agama berdatangan dari berbagai daerah. Pendidikan Islam mulai memainkan perannya. Mula-mula pendidikan Islam disampaikan oleh para saudagar kepada orang-orang terdekat mereka. Sementara guru-guru membentuk kelompok pengajiannya di tempatnya masing-masing.
Pada masa awal perkembangan ini yang menjadi murid pun masih terbatas pada golongan menengah, kaum pedagang, dan para buruh di Bandar-bandar. Mereka sangat tertarik dengan Islam karena ajarannya yang tidak mengakui adanya perbedaan keturunan, golongan, dan suku antar para pemeluknya. Sama rata yang diajarkan islam itu bagi kaum pedagang dapat menciptakan tata tertetib dan keamanan seraya menonjolkan kerukunan kaum muslim. Masyarakat Islam pun cepat terbentuk dan masjid sebagai sarana vital keagamaan mulai didirikan dipusat-pusat kota atas dukungan masyarakat.
Pada awal perkembangannya, pendidikan Islam bisa dikatakan berlangsung secara spontan. Namun, ditengah proses pendidikan yang spontanitas ini usaha intensifikasi pendidikan sudah dirintis. Adalah sunsn Ampel (w. 1481 M) yang merintis corak pendidikan Islam yang dilaksanakan secara intensif. Ia mendirikan sebuah perguruan berupa pesantren yang dibangun di Ampel Denta, Surabaya untuk menampung para murid yang secara intensif dididik agar menguasai ilmu agama Islam dan kelak bias menjadi seorang guru agama di daerahny masing-masing.
b.      Masa Perkembangan
1.      Tokoh Pendidikan
Seluruh wali songo merupakan tokoh-tokoh pendidikan kerajaan Demak. Selain mereka saling mendidik antara satudan lainnya, mereka juga memiliki tugas menyebarkan pendidikan islam ke berbagai daerah. Penyebaran pendidikan islam yang dilakukan wali songo menjangkau seluruh wilayah Jawa mulai dari Jawa Barat, Tengah, sampai Timur.
Keterpaduan pihak kerajaan dengan para wali dalam pendidikan Islam selama kurun waktu setengah abad ini, telah mampu mengislamkan Jawa. Islamisasi Jawa ini lebih gencar lagi dan lebih terencana dilakukan oleh Sultan Trenggana karena ia sendiri telah memiliki cita-cita ingin mengislamkan seluruh Jawa. Ia pun membagi tugas kepada para wali untuk menempati daerah-daerah tertentu dan memberikan pendidikan Islam kepada masyarakat di tempat itu.
Selain wali sembilan, terdapat juga seorang wali yang juga berperan dalam pendidikan islam, yaitu Syeikh Siti Jenar atau dikenal dengan Syekh Lemah Abang. Ia adalah tokoh controversial karena mengajarkan ajaran-ajaran yang berbeda dengan para wali. Ajaran yang ia pahami dikenal dengan sebutan manunggaling kawula gusti. (dalam terminology tasawuf disebut ittihad) yang artinya bersatunya tubuh hamba (manusia) dengan tuhan.
Selain para wali sebagai tokoh sentralnya, orang-orang asing (luar jawa, diantaranya dari Mekkah) beragama islam yang datang ke pesisir Jawa juga telah membantu penyebaran pendidikan islam. Mereka datang dan tinggal di dekat masjid yang telah di bangun. Mereka mengajarkan ilmu agama islam kepada masyarakat yang makin lama makin memperkuat keagamaan mereka.
2.      Sarana Pendidikan
Dalam melakukan tugas pendidikan islam kepada masyarakat, para wali menggunakan masjid sebagai sarana pengembangan pendidikan islam. Masjidn Agung Demak adalah Masjid tertua di pulau Jawa yang menjadi pusat dan lambing kerajaan. Selain sebagai tempat ibadah, masjid Agung Demak juga digunakan sebagai pusat bertukar pendidikan Islam.
Di Demak pendidikan agama di adakan di masjid-masjid umum selain di masjid Agung. Masjid-masjid ini di pimpin oleh seorang Badal yang di tugaskan kerajaan. Badal kemudian digelari Kyai Ageng yang bertugas menjadi seorang guru. Pendidikan agama yang di laksanakan di masjid-masjid diperuntukkan bagi masyarakat umum, sementara keluarga kerajaan belajar agama secara langsung dari wali-wali yang digelari sunan baik di istana maupun di rumah para wali itu.
Bagi para pencari ilmu yang ingin mempelajari ajaran islam secara intensif, didirikan pesantren-pesantren yang di kelola oleh para wali atau guru-guru agama. Pesantren pada saat itu merupakan tempat pendidikan agama yang di huni khusus oleh kelmpok-kelompok masyarakat yang terpisah dari kelompok lainnya. Pesantren-pesantren didirikan dilokasi terpisah dari kelompok lainnya. Pesantren-pesantren didirikan dilokasi tertentu yang khusus di peruntukan untuk perguruan agama, dan tak jarang jauh di pegunungan.[6]






BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari uraian Bab II dapat penulis simpulkan bahwa :
·         Metode pendidikan islam pada masa kerajaan samudera pasai yaitu mengadakan pendekatan secara langsung dengan pimpinan masyarakat / atau kepala suku yang dilakukan oleh Syekh Ismail seorang da’i yang diutus langsung oleh seorang Syarif penguasa makalah. Melalui Merah Silu --- yang kenudian setelah beragama Islan bernama Sultan Malik Al Saleh --- inilah Islam mulai berkembang pesat di Samudra Pasai.
·         Di Demak pendidikan agama di adakan di masjid-masjid umum selain di masjid Agung. Masjid-masjid ini di pimpin oleh seorang Badal yang di tugaskan kerajaan. Badal kemudian digelari Kyai Ageng yang bertugas menjadi seorang guru. Pendidikan agama yang di laksanakan di masjid-masjid diperuntukkan bagi masyarakat umum, sementara keluarga kerajaan belajar agama secara langsung dari wali-wali yang digelari sunan baik di istana maupun di rumah para wali itu.










DAFTAR PUSTAKA



 http://el-syahadu.blogspot.com/Diakses Pada Tanggal 5 Maret 2013


No comments:

Post a Comment